Konseling
merupakan komponen penting pada layanan
tes HIV. Konseling dilaksanakan bagi
klien baik sebelum tes, sesudah tes dan selama perawatan HIV yang dilaksanakan
oleh tenaga yang terlatih.
A. PERAN KONSELING DALAM TES HIV
Layanan
konseling pada tes HIV dilakukan berdasarkan kepentingan klien/pasien baik kepada mereka yang HIV positif maupun negatif. Layanan ini dilanjutkan dengan dukungan
psikologis dan akses untuk terapi.
Konselor terlatih membantu
klien/pasien dalam menggali dan memahami diri akan risiko infeksi HIV, memelajari status dirinya dan
mengerti tanggung jawab untuk
mengurangi perilaku berisiko serta mencegah penyebaran infeksi kepada orang lain serta untuk mempertahankan dan meningkatkan perilaku sehat.
B. PROSES KONSELING DAN TES HIV
1. Konseling
pra-tes
Konseling pra-tes dilaksanakan pada
klien/pasien yang belum bersedia atau pasien yang menolak untuk menjalani tes
HIV setelah diberikan informasi pra-tes. Dalam konseling
pra-tes harus seimbang antara pemberian
informasi, penilaian risiko dan
respon kebutuhan emosi klien.
Masalah emosi yang menonjol adalah rasa takut melakukan tes HIV karena berbagai
alasan termasuk ketidaksiapan menerima hasil tes, perlakuan diskriminasi, stigmatisasi masyarakat dan
keluarga.
Ruang lingkup konseling pra-tes pada
KTS adalah
- Alasan kunjungan, informasi dasar tentang HIV dan klarifikasi tentang fakta dan mitos tentang HIV;
- Penilaian risiko untuk membantu klien memahami faktor risiko;
- Menyiapkan klien untuk pemeriksaan HIV;
- Memberikan pengetahuan tentang implikasi terinfeksi HIV dan memfasilitasi diskusi cara menyesuaikan diri dengan status HIV;
- Melakukan penilaian sistem dukungan termasuk penilaian kondisi kejiwaan jika diperlukan;
- Meminta informed consent sebelum dilakukan tes HIV; dan
- Menjelaskan pentingnya menyingkap status untuk kepentingan pencegahan, pengobatan dan perawatan.
- Memahami cara pencegahan, penularan HIV, perilaku berisiko;
- Memahami pentingnya tes HIV; dan
- Mengurangi rasa khawatir dalam tes HIV.
Unsur penting tersebut meliputi:
- Penilaian risiko dan kerentanan
- Penjelasan dan praktik keterampilan perilaku aman. Pesan pencegahan, penggunaan kondom, dan jarum bersih harus ditekankan
- Membuat rencana. Merencanakan perubahan perilaku dengan mempertimbangkan kemampuan dan sumber daya yang tersedia
- Penguatan dan komitmen. tentang perencanaan klien untuk hidup lebih sehat.
- Lingkungan yang mendukung. Untuk praktik perilaku yang aman, termasuk ketersediaan pilihan jenis kondom dan alat suntik, bahan komunikasi, informasi dan edukasi (leaflet, brosur) serta layanan konseling rujukan/hotline bagi individu, keluarga maupun masyarakat sekitar sangat diperlukan.
2. Konseling pasca tes HIV
Konseling pasca tes adalah konseling untuk menyampaikan
hasil pemeriksaan kepada klien secara individual guna memastikan klien/pasien mendapat tindakan sesuai hasil tes
terkait dengan pengobatan dan perawatan
selanjutnya. Proses ini membantu
klien/pasien memahami penyesuaian diri dengan hasil pemeriksaan.
Proses
konseling pasca tes tetap dilanjutkan
dengan konseling lanjutan yang sesuai
dengan kondisi klien/pasien yaitu antara lain:
- Konseling HIV pada Ibu Hamil
Isi
konseling pada ibu hamil, berdasarkan
hasil tes, sebagai berikut:
1)
Hasil tes HIV negatif:
• Penjelasan
tentang masa jendela/window periode
• Pencegahan
untuk tidak tertular;
• Penjelasan
dari risiko penularan HIV dari ibu ke anak;
• Perencanaan
kehamilan berikutnya dan KB; dan
• Anjuran
konseling dan edukasi kepada pasangan agar pasangan melakukan tes HIV.
2)
Hasil tes HIV positif:
·
Penjelasan mengenai aspek kerahasiaa;
·
Penjelasan tentang rencana pemberian profilaksis
kotrimoksasol dan terapi ARV, kepatuhan minum obat serta akses layanan ART;
·
Rencana pilihan persalinan;
·
Rencana pilihan tentang makanan
bayi dan dukungan untuk melaksanakan pilihannya;
·
Konseling hubungan
seksual selama kehamilan (abstinensia, saling setia atau menggunakan
kondom secara benar dan konsisten);
·
Rencana tes HIV bagi bayi yang akan
dilahirkan;
·
Anjuran agar pasangan melakukan tes
HIV;
·
Informasi tentang keberadaan
kelompok
dukungan
sebaya ODHA yang dapat dihubungi, nama dan nomor
telepon klinik/rumah sakit rujukan ODHA.
3)
Hasil Indeterminate:
·
Penjelasan tentang masa jendela;
·
Anjuran konseling dan edukasi kepada
pasangan agar melakukan tes HIV segera;
·
Jika
hasil tes pasangan
positif, ibu hamil segera diberikan ARV sampai terbukti hasil pemeriksaan
negative;
·
Perlu dilakukan tes ulang 2 minggu setelah pemeriksaan yang pertama dengan
spesimen
baru
atau
dengan
pemeriksaan PCR.
- Konseling Pencegahan Positif (Positive Prevention)
Konseling
pencegahan
positif
merupakan
konseling
yang
dilakukan pada orang yang terinfeksi HIV dengan maksud:
- Mencegah penularan HIV dari orang yang terinfeksi HIV ke orang lain;
- Mencegah penularan infeksi ulang HIV dan infeksi lain (termasuk IMS) pada orang yang terinfeksi HIV;
- Meningkatkan kualitas hidup orang yang terinfeksi HIV.
- Didasarkan pada perspektif dan realita orang yang terinfeksi HIV.
- Orang yang terinfeksi HIV mempunyai hak seksualitas, oleh karena itu dibutuhkan informasi yang rinci tentang seksualitas.
- Difokuskan pada komunikasi, informasi, dukungan dan perubahan kebijakan, tanpa stigmatisasi dan diskriminasi.
- Membutuhkan keterlibatan dan partisipasi bermakna orang yang terinfeksi HIV.
- Perlu menyertakan organisasi layanan HIV, kelompok dukungan dan LSM ke dalam program penanggulangan HIV.
- Menjunjung hak asasi manusia, termasuk hak hidup sehat, hak seksualitas, privasi, konfidensialitas, informed consent dan bebas dari diskriminasi. Di samping itu juga memenuhi kewajiban dan tanggung jawab untuk tidak mencelakakan orang dengan cara tidak menularkan HIV.
- Penularan HIV diperbesar oleh ketidak setaraan gender, posisi tawar, seksualitas, pendidikan, ketidaktahuan status HIV dan tingkat ekonomi.
- Menuntut tanggung jawab bersama dalam upaya menurunkan tingkat penularan. Keterbukaan, informasi dan komunikasi tentang seksualitas dan hubungan seks bisa menjadi cara untuk menurunkan penyebaran HIV lebih lanjut kepada pasangan atau orang lain
- Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
- KONSELING ADHERENCE PADA KEPATUHAN MINUM OBAT
Konseling adherence merupakan
salah satu mata rantai dalam proses pemberian ARV, sebelum pasien mendapatkan
rencana pengobatan, pemberian ARV dan pasien pulang dengan membawa
ARV dan akan memulai pengobatan
untuk seumur hidup.
Karakteristik dari virus HIV
yang selalu bermutasi, mudah terjadinya resisten jika pasien tidak minum dengan benar (mendapatkan ARV yang tepat,
rejimen yang tepat, dosis yang adekuat serta
cara minum obat yang benar),
terbatasnya pilihan ARV yang ada di Indonesia serta pendanaan yang terbatas, maka adherence mutlak harus dievaluasi sebelum seseorang diputuskan dinyatakan memenuhi
syarat secara medis dan non medis.
Dalam proses konseling, konselor
mengevaluasi hambatan yang
dapat menggangu kepatuhan dan melakukan koreksi pada tiap pertemuan yaitu :
- Hambatan yang berasal dari pasien baik kondisi fisik, mental, lingkungan sekitar dan aspek sosial lainnya;
- Hambatan yang berasal dari ARV termasuk diantaranya rejimen, interaksi obat, efek samping obat;
- Hambatan yang berasal dari sistem kesehatan konselor bekerja; dan
- Hambatan yang berasal dari gejala sisa yang disebabkan oleh penyakit oportunistik.
Pasien
yang datang berobat terbagi menjadi dua yaitu pasien baru dan pasien lama. Pada pasien baru akan dilakukan hal sebagai berikut :
- Tes HIV;
- Pemeriksaan klinis untuk mencari infeksi oportunistik, pemberian kotrimoksasol profilaksis dan penentuan stadium;
- Konseling adherence;
- Pemberian ARV sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Pengecekan cara pasien minum obat dan memastikan obat yang diberikan diminum;
- Evaluasi efek samping;
- Pemeriksaan fisik oleh dokter untuk memastikan tidak lagi dijumpai infeksi oportunistik; dan
- Bantuan psikologis atau sosial lainnya jika dibutuhkan dan rumah sakit mempunyai sarana dan jaringan kerja.
Evaluasi
non medis dapat melibatkan kelompok
dukungan sebaya terutama
pada kasus putus obat, dimana petugas
kesehatan tidak dapat melakukan jangkauan.
Peran petugas
kesehatan dan konselor HIV dalam konseling adherence:
- Pemberian informasi HIV, pencegahan dan konseling oleh konselor;
- Pemeriksaan kesehatan baik fisik maupun mental oleh team medis;
- Penjelasan mengenai infeksi oportunistik yang diderita, pengobatan dan pemberian kotrimoksasol untuk profilaksis oleh dokter;
- Penjelasan untuk perawatan di rumah oleh perawat;
- Penjelasan singkat oleh dokter tentang semua hal yang berkaitan dengan rencana pemberian ARV termasuk di dalamnya penentuan rejimen, evaluasi interaksi obat, penjelasan efek samping dan cara minum obat.
Pengkajian cepat untuk evaluasi mental, dan kepribadian dilakukan dengan cara anamnesa sederhana atau menggunakan STATUS MINI MENTAL (Mini Mental State). Gangguan jiwa yang diderita bisa disebabkan karena efek napza (narkotika, alkohol, psikotropika dan zat
aditif lainnya), karena penyakit infeksi oportunistik dan karena
beban mental yang disebabkan oleh status HIV yang disandangnya.
Gangguan
jiwa yang sering terjadi dan perlu dianalisa
adalah:
- Anxietas;
- Depresi;
- Gangguan afektif;
- diagnosis, yaitu didapat:
- gangguan jiwa diikuti penyalahgunaan zat;
- penyalahgunaan zat dengan gejala sisa patologis;
- diagnosis primer yang dual;
- keadaan beberapa etiolgi sekaligus.
- Schizofrenia;
- Paranoid;
- Anti sosial;
- Obsesif kompulsif;
- Gangguan kepribadian/personaliti.
Hal yang harus diperhatikan sehubungan dengan gangguan
jiwa adalah bahwa:
- Gangguan jiwa yang terjadi harus dibedakan dengan yang disebabkan karena faktor psikologis atau yang disebabkan karena penggunaan obat psikotropika atau keduanya;
- Gangguan jiwa harus dibedakan dengan tanda gejala putus obat (withdrawal syndrom).
Selain gangguan jiwa, hal yang dapat mengganggu adherence ialah pengaruh Narkotika, Psikotropika
dan Zat Adiktif Lainnya/napza. Napza
bisa menyebabkan gangguan dalam adherence dengan cara:
- Penggunaan dari beberapa jenis napza jangka panjang akan menyebabkan kerusakan otak dan gangguan jiwa;
- Efek kecanduan, pada kondisi withdrawal, pasien akan lebih mencari napza daripada ARV.
Beberapa
hal yang harus selalu diingat adalah adanya
interaksi dan efek samping tumpang
tindih antara ARV dan napza, seperti
:
a)
Evafirens (EFV) meningkatkan risiko depresi dan bunuh diri;
b) Nevirapine (NVP) berisiko terjadinya
hepatotoksisitas pada ODHA
dengan ko-infeksi HCV/HBV;
c) Kenaikan konsentrasi Zidovudine (ZDV)
40% bila diberi bersama-sama dengan metadon;
d)
Penurunan Didanosine (ddI) 60% dengan
penggunaan bersama metadon;
e)
Penggunaan metadon dengan Rifampisin menurunkan kadar
metadon 50%;
f)
NVP, EVP dapat mengakibatkan putus zat opiat yang hebat pada beberapa kasus karena penurunan efek metadon.
Evaluasi
pada kasus putus obat, lebih ditekankan untuk melihat:
a) Motivasi diri pasien;
b) Masalah psikologi dan social; dan
c) Menilai kemungkinan pasien relaps dalam penggunaan
napza.
Jika
dalam evaluasi, konselor mendapatkan bukti bahwa
pasien belum dapat minum obat secara teratur dan terus menerus, maka penundaan pemberian
ARV untuk kedua kalinya dapat dipertimbangkan dan direkomendasikan. Jika
pemberian ARV ditunda, maka kotrimoksasol diberikan kembali untuk tujuan
profilaksis. Pemberian terapi ARV
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Informed Consent dalam Konseling Adherence
Sebelum
menjalani terapi ARV, semua pasien harus memberikan persetujuan tertulisnya.
Aspek
penting didalam persetujuan tertulis itu adalah sebagai berikut:
- Pasien telah diberi penjelasan yang cukup tentang keuntungan, risiko dan dampak sebagai akibat dari tindakannya dan pasien menyetujuinya.
- Pasien mempunyai kemampuan menangkap pengertian dan mampu menyatakan persetujuannya (secara intelektual dan psikiatris).
- Pasien tidak dalam paksaan untuk memberikan persetujuan meski konselor memahami bahwa mereka memang sangat memerlukan ART.
- Untuk pasien yang tidak mampu mengambil keputusan bagi dirinya karena keterbatasan dalam memahami informasi maka tugas konselor untuk berlaku jujur dan obyektif dalam menyampaikan informasi sehingga pasien memahami dengan benar dan dapat menyatakan persetujuannya.
- Konseling pada Gay, Waria, Lesbian, dan Pekerja Seks
Waspadai
adanya infeksi menular seksual dan diskusikan serta rujuk untuk terapi. Infeksi
dapat terjadi pada mulut, vagina, anus, penis dan mukosa/kulit disekitarnya.
Pendekatan
mental emosional atas hubungan seksual, relasi individu dengan pasangannya serta keluarganya terkait beban mental sangat diperlukan
karena faham dan perilaku tidak sesuai dengan norma /kepercayaan masyarakat. Pada klien biasanya akan timbul :
- perasaan bersalah, perasaan dikucilkan;
- insekuritas hubungan pasangan yang membuat klien lebih sensitif, rentan terhadap gangguan mental emosional; dan
- rasa penerimaan diri dan ambiguitas, terhadap peran gender, peran hidupnya dalam masyarakat.
- Konseling HIV pada Pengguna Napza
- Mengkaji dan mendiskusikan penggunaan napza yang memperberat terjadinya gangguan pikiran dan perasaan dan akan menghambat kemampuan penurunan pencegahan.
- Mendiskusikan tentang interaksi silang antara napza yang digunakan, ARV, obat infeksi oportunistik dan farmakoterapi lain yang digunakan dalam pengobatan (termasuk metadon, buprenorfina dan obat-obat psikiatri).
- Mendiskusikan strategi pengurangan risiko dari hubungan seksual, dan penggunaan alat suntik bersama terkait penggunaan napza.
- Mendiskusikan strategi penurunan penularan lewat pembuatan tato, dan penindikan bagian tubuh.
- Mendorong klien untuk mengikuti terapi rehabilitasi napza sesuai jenis zat yang digunakannya, seperti terapi rumatan metadon atau buprenorfina untuk mereka yang ketergantungan opioida, atau terapi lainnya termasuk yang berorientasi abstinensia melalui program rehabilitasi rawat inap jangka panjang.
- Mengkaji permasalahan lain yang dialami klien, sepertingangguan kejiwaan, masalah legal, ketiadaan dukungan keluarga/sosial, dan permasalahan lain yang dapat menghambat adanya perubahan perilaku.
- Melakukan rujukan kepada Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) baik secara internal ataupun eksternal.
- Konseling Pasangan
Dalam
konseling
pasangan,
permintaan
izin
pemeriksaan
secara individual tetap perlu dilakukan.
Tugas
konselor dalam konseling ini adalah:
- Mengkaji dan mendiskusikan permasalahan dan risiko tentang perilaku seksual, IMS dan HIV.
- Memfasilitasi pembelajaran bersama, praktik seksual yang aman dan saling bertanggung jawab satu atas lainnya.
- Mengkaji dan mendiskusikan penerimaan pasangan atas status yang sama-sama positif maupun diskordan.
- Membantu menurunkan kecemasan pasangan dan mencegah saling menyalahkan.
- Memfasilitasi pasangan untuk bersama-sama membuat rencana masa depan, saling menguatkan, saling memahami dan mendukung.
- Pesan yang diberikan:
- Secara ideal hendaknya pasangan telah mengetahui statusnya terlebih dahulu sebelum membina hubungan
- Jika keduanya negatif, jaga agar tetap negatif;
- Jika keduanya positif, tetap melakukan seks aman agar tidak saling menularkan;
- Jika salah satu positif dan lainnya negatif (diskordan), konselor mendiskusikan strategi agar tidak terjadi penularan;
- Dorong klien agar tidak menghakimi pasangan.
- Relasi dan komunikasi pasangan
- Saling menguntungkan dengan saling tahu status HIV
- Relasi seksual dan pengaruh mental emosional mereka
- Perencanaan kehamilan
- Perencanaan keluarga (karier, pengasuhan dan pendidikan serta masa depan anak, sosial ekonomi)
- Hubungan dengan keluarga besar (mertua, menantu, ipar)
- Konseling Keluarga
Konseling
keluarga membutuhkan kompetensi khusus karena harus dapat mengakomodasi
kebutuhan dan karakteristik dari masing-masing anggota keluarga. Yang dimaksud
konseling keluarga dalam pedoman ini lebih dititikberatkan
pemberian informasi dan edukasi bagi keluarga ODHA. Konselor dapat memulai pembicaraan dengan mengangkat permasalahan status salah satu atau lebih
tentang status.
Hal-hal
yang dibahas dalam konseling keluarga adalah:
- Tingkat pengetahuan mengenai HIV dari masing-masing anggota keluarga.
- Komunikasi dan relasi dalam keluarga, peran anggota keluarga ketika mereka menghadapi sebuah persoalan, termasuk apabila salah satu atau lebih memiliki status HIV positif.
- Peran dari masing-masing anggota keluarga dalam mendukung ODHA di keluarga dan upaya-upaya yang dilakukan untuk meminimalisasi penularan, stigma dan diskriminasi.
- Upaya keluarga dalam menghadapi stigma dan diskriminasi dari pihak luar (pihak ketiga).
- Rujukan pada profesional apabila dibutuhkan penanganan lebih lanjut.
Yang
dimaksud dengan gangguan jiwa adalah berbagai gangguan yang dikarakteristikkan oleh beberapa kombinasi
pola pikir, emosi, perilaku dan hubungan dengan
orang lain yang abnormal. Hal
ini mencakup gangguan jiwa ringan seperti kecemasan, gangguan tidur dan depresi
sampai gangguan jiwa berat seperti skizofrenia, gangguan depresi mayor, gangguan bipolar dan gangguan jiwa lainnya. Ruang lingkup yang dibahas dalam
pedoman ini adalah klien/pasien dengan gangguan jiwa ringan. Untuk gangguan
jiwa berat harus dilakukan rujukan
kepada layanan psikiatri yang tersedia di wilayah masing- masing.
Hal-hal yang dapat dilakukan pada klien/pasien
dengan gangguan jiwa ringan :
- Mengkaji derajat gangguan jiwa ringan yang dialami klien/pasien atas status HIVnya baik yang hasil positif maupun negatif.
- Mengkaji perilaku berisiko terkait kejiwaan seperti keinginan bunuh diri/membunuh orang lain, menarik diri dari lingkungan sosial, kabur dari rumah atau perilaku agresif.
- Mendiskusikan strategi untuk mengatasi perilaku berisiko di atas, misalnya melakukan relaksasi, membuat pedoman harian, berbagi perasan dan pikiran dengan anggota keluarga/teman dekat atau kelompok dukungan.
- Apabila dibutuhkan, memfasilitasi klien/pasien untuk mengakses farmakoterapi sesuai dengan kondisi terkait kepada dokter.
- Konseling pada Warga Binaan Pemasyarakatan
Konseling
bagi Warga Binaan Pemasyarakatan
(WBP) umumnya berjalan dalam format konseling individual. Konseling dapat
dilakukan oleh konselor atau petugas kesehatan yang terlatih konseling. WBP
pada umumnya mengalami gangguan jiwa ringan, terutama bila kondisi lapas/rutan melebihi kapasitas
atau tidak terdapat program pengembangan diri yang berkesinambungan.
Hal-hal yang dapat dilakukan dalam konseling bagi WBP :
1) Mengkaji permasalahan
yang dialami oleh WBP terkait perilaku berisiko HIV maupun gangguan jiwa.
2)
Mendiskusikan strategi pengurangan risiko penularan
HIV, termasuk mendorong penerapan praktek perilaku seks dan atau penggunaan napza yang aman apabila yang bersangkutan aktif berhubungan seks atau
menggunakan napza.
3)
Mendiskusikan strategi mengatasi stres
yang
mungkin dialami selama berada di lapas/rutan.
4) Memberikan informasi dimana klien/pasien dapat mengakses layanan selepas dari lapas/rutan
Yang
dimaksud dengan Pengungkapan status adalah memberitahukan status HIV kepada orang lain terkait tindak lanjut
yang bermanfaat. Pengungkapan status dalam banyak hal menguntungkan klien agar ia mendapat
dukungan dalam proses pemulihan kesehatannya. Pada kasus dimana klien
menolak membuka status HIV pada pasangannya, biasanya karena takut terjadi tindak kekerasan.
Isu pembukaa status perlu didiskusikan pada konseling pra tes atau KIE sebelum
konseling.
Tujuan dari Pengungkapan status adalah:
1) Memungkinkan
pasangan mempunyai akses dini ke layanan
terapi dan perawatan;
2) Menurunkan risiko penularan HIV;
3) Mencegah infeksi berulang dan IMS;
4) Mencegah resisten terhadap pengobatan.
Hal-hal
yang
menjadi
perhatian
utama
dalam
konseling
Pengungkapan status:
1) Cara klien membuka
statusnya: apakah akan dilakukan
sendiri oleh klien atau dimediasi
melalui konseling pasangan dengan melibatkan konselor.
2) Resistensi
klien dalam pengungkapan statusnya:
gali lebih dalam apa yang
menjadi
penghambat
utama
dalam membuka statusnya, termasuk dalam hal
ini adalah apabila klien mengalami kekerasan domestik. Akomodasi permasalahan tersebut dengan
menyajikan
keuntungan
membuka status kepada pasangan serta cara mengatasi hambatan yang dialami.
Strategi yang dapat dilakukan apabila
klien berulangkali menolak membuka statusnya dan juga menolak mempraktekkan
perilaku yang aman. Penolakan yang terus
dilakukan walaupun telah berulangkali dilakukan konseling,
dapat disiasati melalui pertemuan
kelompok.
3) Pada anak dengan HIV positif statusnya dibuka
bersama dengan orang tua/wali/pengampu. Informasi
diberikan
secara bertahap sesuai perkembangan psikologi
anak,
sebaiknya ini dilakukan oleh petugas yang memahami psikologi klinis anak.
Pengungkapan
status HIV Anak bukan percakapan satu kali saja, melainkan suatu proses
pemberian dukungan dan informasi yang
berkesinambungan, serta penguatan
secara terus-menerus seiring dengan pertumbuhan anak. Berbicara kepada anak
dengan usia berbeda-beda membutuhkan
pemberian pesan dan tingkat
informasi yang berbeda. Orang tua atau pengasuh yang akan
mengungkapkan status HIV anak, sebaiknya menguasai pengetahuan dasar HIV dan keterampilan komunikasi interpersonal.
Anak
sebaiknya memiliki pengetahuan dasar dan
pemahaman tentang HIV, sebelum kita mengungkapkan statusnya secara penuh dan anak sudah mengetahui status HIV nya sejak usia antara 10-11 tahun namun ini tergantung pada kematangan anak. Anak berhak untuk mengetahui status HIV nya tentunya
dengan dukungan yang memadai
dan mempunyai hak untuk mengungkapkan status HIV-nya atau tidak, serta kepada siapa. Pesan positif yang penuh kasih sayang harus digunakan setiap kali kita berbicara dengan anak tentang status
HIV-nya.
Langkah-langkah
pengungkapan status HIV anak:
a) Menilai kesiapan anak menerima.
Lakukan
penilaian secara hati-hati dengan mempertimbangkan hal seperti usia, tingkat kematangan, tingkat keingintahuannya tentang HIV dan perhatikan apakah anak tampaknya
mampu secara emosional
untuk belajar dan menerima status HIV-positif nya serta maknanya.
b) Memilih tempat dan waktu yang tepat.
Pilih
tempat yang nyaman dari berbagai
gangguan dan untuk memulai
percakapan, pilih waktu yang tepat saat anak berdua saja dengan pengasuh.
Misalnya kesempatan yang baik untuk memulai percakapan adalah saat anak setiap
bulan pergi ke rumah sakit untuk ARV.
c) Memeriksa pengetahuan anak dan membiarkan
anak yang menuntun jalannya
pengungkapan.
Mulailah
percakapan dengan mengajak anak bertanya
seputar pemahamannya tentang HIV. Dengan
diketahuinya tingkat pemahaman anak tentang HIV dan maknanya, pengasuh dapat menangkap apa yang harus
dijelaskan kepadanya. Pengasuh juga dapat mengajukan pertanyaan untuk memastikan
apa yang dia ketahui dan memakai jawabannya
sebagai tuntunan untuk pertanyaan selanjutnya.
d) Memberi tahu anak tentang status HIV-nya
dan
maknanya.
Berbicara kepada anak
dengan usia berbeda-beda membutuhkan pemberian
pesan dan tingkat informasi yang
berbeda. Mendisukusikan hasil pemeriksaan penyakit, bila memungkinkan gunakan kata HIV
sebagai pengganti kata virus terus penjelasan
tentang minum obat seumur hidup agar
tetap sehat. Bila minum obat tidak
teratur, virus jadi lebih kuat dan obat jadi tidak mempan perlunya makan yang sehat, tidur teratur dan berolah raga. Jelaskan dia tetap bisa bermain
dan ke sekolah, sama seperti yang lain. Status
HIV adalah pribadi sifatnya dan hanya dikasih tau ke orang lain dengan persetujuan orang tua atau pengasuh. Jika anak
bertanya tetap berikan jawaban sederhana.
e) Memastikan adanya percakapan tentang HIV secara
berkala.
Percakapan
seputar HIV dan AIDS dapat dimulai saat melihat atau mendengar iklan tentang
HIV di TV, radio, atau ketika
melihat baliho. Percakapan dan diskusi seputar HIV dan AIDS juga dapat
dilakukan saat makan bersama dalam keluarga. Berhati-hatilah dalam membahas status
HIV anak bila dalam keluarga
masih ada yang belum mengetahui status HIV anak karena ini bisa
menimbulkan keretakan dalam keluarga dan
berdampak negatif terhadap anak. Pengaush
sebaiknya selalu mengakhiri
percakapan atau diskusi dengan pernyataan-pernyataan yang mendukung dan mendorong
semangat.
f)
Memberi dukungan pasca pengungkapan status HIV
anak.
Apapun
respon anak setelah status HIV-nya diungkapkan, selalu beri dukungan yang menguatkan dan mendorong semangat anak. Orang tua atau
pengasuh sebaiknya menjadi tempat anak berkeluh kesah dan mencurahkan isi hatinya.
Setelah
anak mengetahui status HIV-nya, orang tua atau
pengasuh menilai sudah saatnya mengungkapkan status HIV anak kepada orang
lain, ada baiknya orang tua/pengasuh dan anak membahas orang penting dalam kehidupan
anak yang mungkin akan mendukungnya. Orang tua/pengasuh bersama
anak bisa membuat gambar peta jaringan hubungan anak dengan orang lain dan dari situ
membahas siapa saja yang mungkin akan diberitahu dan bagaimana cara memberitahunya.
Keberadaan
klien bersama dalam kelompok dukungan sebaya (KDS), dapat
menginspirasi/memotivasi yang bersangkutan untuk belajar dari anggota kelompok
lain terkait pengalaman mereka dalam menyingkapkan statusnya.
- Konseling Gizi
Konseling
gizi diberikan pada ODHA dan OHIDA. Jika diperlukan, dapat dilakukan rujukan
kepada ahli gizi. Konseling gizi
memberikan layanan untuk gizi dalam hal :
-
Hidup sehat dan gizi seimbang,
-
Gizi sesuai stadium penyakit,
-
Gizi pada pemakaian ARV, dan
-
Gizi pada ODHA dengan IO.
- Konseling yang Berkaitan dengan Isu Gender
Istilah
gender secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan
perempuan dari segi sosial budaya,
psikologis dan aspek non biologis lainnya. Istilah seks secara umum digunakan
untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi
dan juga jenis kelamin. Aspek biologi meliputi perbedaan anatomi fisiologi tubuh
termasuk sistem reproduksi dan karakteristik biologis lainnya. Dalam TKHIV, maka konselor perlu memperhatikan isu
gender untuk merespon hal-hal sebagai berikut:
1) Posisi tawar
yang rendah pada perempuan terhadap laki-laki terutama dalam menerapkan perilaku yang aman. Perhatian khusus
perlu diberikan terhadap perempuan
pekerja seks terhadap pelanggan dan pasangannya.
2) Stigma, diskriminasi dan kriminalisasi
terhadap pekerja seks.
3) Laki-laki pelanggan
pekerja
seks
yang
terjebak
dan
mempertahankan mitos kejantanan/keperkasaan.
4) Stigma dan diskriminasi
oleh petugas layanan kesehatan
termasuk konselor.
5) Pemahaman gender
yang keliru dan dibawa dalam relasi
seksual.
- Konseling
Paliatif dan Dukacita
Perawatan
paliatif (palliative care) atau layanan paliatif merupakan pendekatan guna memperbaiki
kualitas hidup pasien dan keluarganya
ketika menghadapi masalah terkait
penyakit yang mengancam kehidupan melalui pencegahan dan pengurangan penderitaan dengan cara mengenali secara dini,
menilai perjalanan dan terapi nyeri serta masalah lainnya, baik fisik, psikososial dan
spiritual (WHO 2002). Tujuannya
perawatan paliatif adalah membantu pasien memaksimalkan kualitas dan
mengendalikan martabat hidupnya
sebelum meninggal dunia. Pendekatan dilakukan secara aktif, holistik, terfokus pada pasien dan ditangani
oleh profesi multidisiplin.
Hal-hal
yang dapat dilakukan dalam konseling paliatif dan duka cita adalah:
1.
Penekanan pada mendengar aktif, terutama atas berbagai bahasa tubuh yang
ditampilkan klien.
2.
Beri
dukungan atas berbagai hal positif yang telah dilakukan klien selama ini. Apabila klien
terus menerus didera perasaan negatif, bimbing klien untuk mengingat hal yang
positif.
3.
Akomodasi berbagai pertanyaan seputar
kematian, dimana pembahasan dapat
diarahkan sesuai dengan keyakinan klien.
4.
Beri dukungan klien apabila yang
bersangkutan tidak memperoleh
dukungan keluarga/sosial yang cukup menjelang kematiannya. Yakinkan bahwa klien
tidak pernah sendiri di dunia ini.
Selain model
konseling lanjutan sebagaimana dimaksud di atas, ada beberapa hal yang harus
dipikirkan oleh konselor:
- Ketidakmampuan untuk Membuat
Keputusan
- Kesesuaian dengan Budaya
- Konfidensialitas Bersama
- Pengendalian Infeksi
0 Comments