STIGMA
DAN DISKRIMINASI TERHADAP ODHA
Stigma dan diskriminasi seolah menjadi
hukuman sosial masyarakat terhadap ODHA yang bisa terjadi dalam beragam bentuk,
seperti penolakan dan pengasingan terhadap ODHA.
Stigma dan diskriminasi seringkali dirujuk sebagai suatu kesatuan. Stigma yang
diterima oleh ODHA umunya diikuti dengan perlakuan diskriminatif. Namun,
prinsipnya stigma dan diskriminasi adalah dua hal yang berbeda dan terpisah.
Definisi stigma secara umum adalah ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang
karena pengaruh lingkungannya. Sementara diskriminasi
diartikan sebagai pembedaan perlakuan
terhadap sesama warga negara, berdasarkan warna kulit, golongan, suku, ekonomi,
agama dan sebagainya, yang berdampak pada pemenuhan hak asasi manusia (HAM)
orang tersebut. Oleh karena itu, dalam bab pembahasan ini kami akan mengulas
secara terpisah antara bentuk-bentuk stigma dengan bentuk-bentuk diskriminasi.
Pewajiban VCT merupakan
pelanggaran HAM. Tes HIV harus dilaksanakan secara
sukarela (voluntary), bukan wajib (mandatory). Hal ini merupakan bagian dari
hak seseorang untuk memutuskan apa yang menurutnya baik untuk diri dan
kesehatannya. World Health Organisation (WHO) juga telah menyampaikan
keberatannya atas kebijakan-kebijakan wajib VCT yang dilakukan di banyak
tempat.vii Pewajiban VCT bukan hanya tidak memiliki justifikasi, tetapi justru
berpotensi melemahkan upaya penanggulangan HIV yang efektif.
HIV/AIDS sering diidentikkan
dengan yang menurut kebanyakan masyarakat dianggap sebagai perilaku amoral atau asusila,
seperti seks bebas, penggunaan narkotika dan homoseksualitas. Stigma tersebut
seringkali dengan mudahnya digeneralisisasi oleh banyak pihak, sehingga stigma
ODHA sebagai orang-orang yang asusila dan amoral seakan diterima dengan mudah
oleh masyarakat.
Banyaknya berita yang
mengasosiasikan ODHA dengan amoralitas dan asusila
menunjukkan rendahnya pemahaman masyarakat dan media mengenai perilaku berisiko
HIV/AIDS. Kurangnya pemahaman mengenai informasi tersebut pada banyak lapisan
masyarakat yang menjadikan stigma dan diskriminasi terhadap ODHA tumbuh subur.
Perilaku berisiko adalah perilakuperilaku yang membawa risiko tinggi terkena
infeksi HIV pada seseorang. Perilaku beresiko ini termasuk penggunaan jarum
suntik tidak steril secara bergantian, hubungan seksual yang tidak aman,
menerima transfusi darah yang terkontaminasi virus HIV, maupun penularan dari
ibu hamil ke anak dalam kandungannya. Penggunaan jarum suntik tidak steril,
misalnya, dapat terjadi bukan hanya dalam konteks penggunaan narkotika jarum
suntik, tetapi juga pembuatan tato, atau aktivitas lain yang melibatkan jarum
suntik yang tidak steril. Demikian juga
dengan hubungan seksual yang tidak aman yang dapat dilakukan oleh orang dengan
orientasi heteroseksual maupun homoseksual.
Jenis stigma lainnya
yang banyak bermunculan pada berita yang kami dokumentasikan adalah pelekatan HIV/AIDS pada kelompok masyarakat tertentu.
Terdapat lima berita dengan pesan seperti ini. Kelompok yang dianggap sebagai
pembawa HIV/AIDS di antaranya adalah wisatawan
mancanegara, Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dan
ibu rumah tangga. Wisatawan mancanegara dianggap memiliki potensi untuk
menularkan HIV/AIDS ke Indonesia dikarenakan kesalahpahaman atas gaya hidup
seks bebas yang dituduhkan kepada mereka. Begitupun dengan TKI/TKW yang kembali
ke Indonesia dianggap membawa pulang virus tersebut sehingga akan membahayakan.
Perempuan dianggap sebagai kelompok paling rentan tertular HIV/AIDS, sehingga
dapat mengancam kelompok ibu rumah tangga. Dalam banyak kasus, ibu rumah tangga
tertular dari suaminya yang memiliki riwayat hidup dengan perilaku beresiko.
Kesemua pandangan ini tidak didasarkan
pada bukti ilmiah, dan justru berpotensi memunculkan praktik-praktik yang
diskriminatif terhadap kelompok masyarakat tersebut. Seperti yang telah kami
sampaikan, HIV/AIDS hanya dapat ditularkan melalui cara-cara tertentu. Infeksi
HIV tidak melihat latar belakang kewarganegaraan maupun jenis pekerjaan.
Diskriminasi
terhadap ODHA
Dari gambar tersebut di atas, bentuk
diskriminasi paling banyak terjadi dalam ranah pemenuhan hak atas kesehatan,
yaitu ketika mengakses layanan kesehatan. persoalan
akses layanan kesehatan. terkait dengan:
1. Penolakan
dan pemulangan pasien ODHA, termasuk anak dengan HIV/AIDS (ADHA), oleh rumah
sakit atau puskesmas.
2. Penolakan
ketika pasien ODHA melakukan klaim jaminan kesehatan.
3. Kesulitan
mengakses layanan kesehatan karena terkendala biaya.
4. Penolakan
operasi caesar terhadap ODHA yang akan melahirkan
Dalam masalah mengakses layanan,
biasanya penyedia layanan kesehatan akan berdalih belum
memiliki alat bedah khusus untuk ODHA. Namun tentunya jika kita melihat pada fakta
HIV/AIDS sebagai bagian dari program nasional, di mana fasilitas
layanan kesehatan tingkat pertama pun telah didorong untuk mampu memberikan
pengobatan, klaim ketiadaan sumber daya ini patut dipertanyakan. Pun
benar sumber daya tersebut tidak ada, pemberi layanan kesehatan wajib
menggunakan mekanisme rujukan sehingga pasien tetap dapat terpenuhi haknya.
Dengan demikian, jika tenaga kesehatan menolak memberikan pelayanan kesehatan,
maupun memberikan rujukan kepada fasilitas kesehatan dengan layanan yang lebih
paripurna, dapat dikatakan bahwa tenaga kesehatan tersebut telah melakukan
tindakan diskriminasi terhadap ODHA.
Bentuk diskriminasi lainnya adalah
penutupan lokalisasi dan kriminalisasi pekerja seks.
Penutupan lokalisasi ini didasari pada argumentasi lokalisasi sebagai tempat
penyebaran HIV/AIDS. Banyak pihak menilai dengan ditutupnya tempat-tempat
lokalisasi dan menghukum para pekerja seks akan membuatnya berhenti, sehingga
dapat menghentikan penyebaran HIV/AIDS. Padahal dampak dari penutupan
lokalisasi adalah penghambatan terhadap program penanggulangan HIV/AIDS.
Pekerja seks yang biasa mengakses layanan ARV menjadi sulit untuk dijangkau
karena mereka menyebar ke tempat lain yang lebih terpencil. Hal ini akan
berujung pada penyebaran HIV/AIDS semakin meluas karena tidak lagi terkontrol.
Selain itu, pembubaran lokalisasi juga pada dasarnya melanggar hak atas privasi
seseorang. Setiap orang berhak dengan bebas menentukan apa yang ingin dilakukan
dengan tubuhnya. Pembubaran lokalisasi justru menyebabkan pekerja seks sulit
melakukan pekerjaannya dan menjadi semakin rentan pada kekerasan. Dengan
demikian, hal ini justru akan menambah stigma, diskriminasi dan kerentanan
terhadap HIV.
Sementara pada bidang ketenagakerjaan,
bentuk diskriminasi yang biasa terjadi adalah pemberhentian
hubungan kerja (PHK) karena status HIV/AIDS. Dari 3 berita yang kami
temui, PHK terhadap ODHA terjadi di instansi pemerintah seperti Pegawai Negeri
Sipil (PNS) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Pegawai di lembaga pemerintah
diwajibkan untuk bebas dari HIV/AIDS karena dianggap tidak memberikan contoh
yang baik sebagai pelayan masyarakat, untuk itu dilakukan tes HIV/AIDS berkala
untuk mengetahui statusnya. Apabila DISKRIMINASI HIV: STIGMA YANG MEWABAH
diketahui hasilnya adalah positif HIV/AIDS maka pegawai bersangkutan akan
ditindak.
Dalam hal seperti ini, terdapat dua
jenis praktik diskriminasi. Pertama, pewajiban tes HIV untuk karyawan yang
melanggar hak atas privasi dan hak atas kontrol terhadap tubuhnya. Kedua, PHK
yang dilakukan atas dasar status karyawan yang
positif HIV/AIDS merupakan pelanggaran terhadap hak atas pekerjaan dan hak atas
perlakuan yang tidak diskriminatif. Di sisi lain, pewajiban tes dan PHK bagi karyawan karena status HIV/AIDS juga merupakan
pelanggaran dari Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
68/MEN/IV/2004 tentang Penanggulangan HIV/AIDS di Tempat Kerja.
Tindakan diskriminatif yang juga sering
dialami oleh ODHA adalah dijauhi oleh orang-orang di
sekitarnya maupun dalam konteks pengaksesan layanan kesehatan. Tenaga
kesehatan menempatkan mereka di ruangan khusus ODHA dengan tujuan agar pasien
ODHA tidak menularkan ke pasien lainnya. Hal ini dilakukan walaupun tidak ada
faktor risiko penularan HIV/AIDS, seperti misalnya terhadap ODHA yang dirawat
karena sakit panas. Pengucilan atau isolasi ini juga terjadi di rumah tahanan
negara (rutan) atau lembaga pemasyarakatan (lapas), dimana tahanan atau warga
binaan yang ketahuan positif HIV/AIDS akan ditempatkan di sel khusus agar tidak
menularkan ke yang lain.
Baca juga :
Pelaku
Stigma dan Diskriminasi
Dari tabel di atas, tampak bahwa pihak
yang paling banyak melakukan stigma dan diskriminasi terhadap ODHA berasal dari
lembaga negara, seperti Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, Kementerian
Agama dan Kementerian Ketenagakerjaan dan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA).
Selain itu, pejabat daerah serta penyedia layanan kesehatan juga menjadi pihak
yang paling banyak melakukan stigma dan diskriminasi terhadap ODHA. Ironisnya,
justru mereka adalah pelayan masyarakat yang seharusnya mengedepankan asas
non-diskriminasi dalam melaksanakan dan memberikan pelayanannya. Seperti contoh
KPA yang dibentuk dalam rangka meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan
HIV/AIDS yang lebih intensif, menyeluruh, terpadu dan terkoordinasi. Hal
tersebut nyatanya tidak lantas membuat KPA bersih sebagai pelaku stigma dan
diskriminasi terhadap ODHA. Contoh lainnya adalah kewajiban pejabat pemerintah
daerah untuk menyediakan fasilitas layanan kesehatan masih belum terpenuhi.
Fasilitas layanan kesehatan yang ada belum ramah terhadap ODHA serta perlakuan
diskriminasi yang diterima dari tenaga kesehatan membuat mereka enggan untuk mengakses
layanan yang ada. Fungsi legislatif yang direpresentasikan oleh dewan
perwakilan rakyat (DPR) juga turut melakukan stigma dan diskriminasi terhadap
ODHA. Pembuatan kebijakan yang dilakukan oleh DPR seharusnya mampu
mengakomodasi kebutuhan ODHA di segala bidang. Namun nyatanya hal tersebut
masih jauh dari harapan. Masih banyak peraturan-peraturan di daerah yang
mendiskriminasi ODHA, seperti masih banyaknya peraturan yang mewajibkan VCT.
Lingkungan
Stigma dan Diskriminasi
Tampak pada diagram di atas, stigma dan
diskriminasi pada ODHA paling banyak terjadi di bidang kesehatan. Temuan ini
tidak mengagetkan, mengingat HIV/AIDS utamanya adalah persoalan kesehatan.
Masalah kesehatan yang sering muncul seperti kurangnya ketersediaan ARV dan
klinik VCT, pasien ODHA diperlakukan berbeda dan dianggap tidak setara dengan
pasien lainnya, pewajiban tes HIV untuk ibu hamil, dan lain sebagainya.
Bentuk-bentuk penolakan yang sering dialami ODHA ketika ingin mengakses layanan
kesehatan menimbulkan suatu kondisi yang tidak kondusif karena mereka merasa
tidak nyaman. Hal tersebut akan berpotensi pada turunnya tingkat kesehatan ODHA
serta program-program pencegahan HIV/AIDS lainnya. Selain itu, terjadinya
praktik stigma dan diskriminasi di layanan kesehatan menunjukkan bahwa hak atas
kesehatan ODHA belum terpenuhi seluruhnya. Sebagaimana dijelaskan dalam
Komentar Umum Persatuan BangsaBangsa (PBB), hak atas kesehatan terdiri dari 4
(empat) elemen dasar, yaitu ketersediaan,
keterjangkauan, keberterimaan, serta kualitas.
Aspek berikutnya yang juga banyak terjadi
praktek stigma dan diskriminasi adalah aspek ketenagakerjaan. misalnya pewajiban VCT untuk karyawan guna mengetahui status
HIV mereka. Kami mensinyalir rendahnya pengetahuan masyarakat tentang HIV/AIDS
membuat masyarakat, termasuk di lingkungan kerja, takut untuk berinteraksi
dengan ODHA. Oleh karena itu, kebanyakan dari pemberi kerja mewajibakan tes HIV
untuk karyawan. Selain itu, pandangan bahwa ODHA tidak bisa produktif dalam
bekerja sebagai penyebab munculnya pewajiban tes HIV di lingkungan kerja. Pada
beberapa berita bahkan menyebutkan institusi negara akan menindak, bahkan
memberhentikan karyawannya yang ketahuan mengidap HIV/AIDS. Di banyak bidang
lain juga sebenarnya masalah HIV/AIDS selalu ada, akibat dari kurangnya
pemahaman masyarakat akan HIV/AIDS. Pun demikian dengan cara pendekatan yang
salah yang dilakukan oleh negara dalam rangka pencegahan dan penanganan
HIV/AIDS. Tumpang tindih peraturan, maladministrasi di lapangan, layanan
kesehatan yang masih jauh dari harapan serta tenaga kesehatan yang
diskriminatif masih menjadi masalah yang belum terselesaikan hingga saat ini.
1 dari 5 pengidap HIV dilaporkan menghindari perawatan medis karena takut menjadi korban diskriminasi
1 dari 4 pengidap hiv dilaporkan mengalami beberapa bentuk diskriminasi saat menjalani perawatan
Perempuan pengidap HIV setidaknya mengalami satu bentuk diskriminasi terkait kesehatan seksual dan reproduksi oleh pekerja medis.
1 dari 5 pengidap HIV ditolak berobat, termasuk oleh dokter gigi dan petugas KB
TAK DIPUNGKIRI, AIDS ADALAH PENYAKIT BERBAHAYA. NAMUN, KEWASPADAAN TANPA PEMAHAMAN HANYA AKAN BERUJUNG DISKRIMINASI TERHADAP PENGIDAPNYA. SEJATINYA MEREKA PERLU DIDUKUNG, BUKAN DIRUNDUNG. MEREKA BUTUH PENDAMPINGAN, BUKAN MALAH DIASINGKAN.
Perubahan perkembangan pengobatan,
perawatan dan dukungan yang diharapkan mempengaruhi paradigma stigma dan
diskriminasi terhadap Orang dengan HIV-AIDS:
1. HIV-AIDS
dapat mengenai siapapun, tanpa membedakan status sosial, pendidikan, agama,
warna kulit, latar belakang seseorang. adalah penyakit mematikan.
2. HIV-AIDS
dapat mengenai orang yang tidak berdosa yaitu bayi dan anak.
3. HIV-AIDS
sudah ada obatnya sekalipun tidak menyembuhkan, tetapi mengembalikan kualitas
hidup penderitanya.
4. Penularan
HIV-AIDS ke bayi/anak dapat dicegah
5. Kepatuhan
berobat dan minum obat adalah kunci utama pencegahan dan pengendalian HIV-AIDS.
6. Setiap
orang memiliki hak yang sama untuk akses pelayanan kesehatan paripurna yang
komprehensif.
7. Ketidaktahuan
seseorang bahwa ia menderita penyakit termasuk HIV-AIDS dan IMS yang membuat
orang menularkan penyakitnya.
Mengapa
Perlu Menangani Stigma Dan Diskriminasi ??
Stigma dan diskriminasi sangat
mempengaruhi upaya pencegahan HIV, pengobatan dan perawatan:
1. Memperlemah
upaya pencegahan dan perubahan perilaku. Ketakutan terhadap stigma dan diskriminasi
membuat orang tidak berani dan tidak percaya diri dalam usaha menegosiasikan
seks yang lebih aman atau untuk melakukan tes HIV. Ketidaktahuan tentang risiko
yang dimiliki seseorang, karena persepsi “HIV hanya
menular pada kelompok tertentu”, bisa mengakibatkan tidak diambilnya
perilaku pencegahan secara serius.
2. Kesulitan
atau keterlambatan mengakses layanan PDP. Ketakutan terhadap stigma dan
diskriminasi mengakibatkan mereka yang hidup dengan HIV terlambat atau tidak
mau mengakses layanan PDP yang mereka butuhkan karena takut membuka status
mereka kepada yang lain.
Dengan mengatasi stigma dan
diskriminasi, kita dapat :
1. Memperkuat
respon efektif pada HIV
2. Mendorong
pengembangan dan rasa percaya diri yang kuat pada ODHA
3. Menciptakan
role model positif dan memahami upaya anti stigma dan diskriminasi lebih jauh
4. Memperkuat
ikatan ODHA, keluarga mereka dan komunitas untuk bersamasama melakukan upaya
pencegahan
Bagaimana
Cara Menghadapi Stigma Dan Diskriminasi
Kita semua turut bertanggung jawab untuk
menghadapi stigma dan diskriminasi. Bukan hanya ODHA yang harus melakukannya.
Kita semua dapat memainkan peran untuk mengedukasi pihak lain, menyuarakan dan
menunjukkan sikap dan perilaku baru.
Beberapa
langkah praktis yang dapat dilakukan untuk menghadapi Stigma dan Diskriminasi
adalah sebagai berikut:
1. Jadilah contoh yang baik.
Terapkan apa yang sudah kita ketahui. Pikirkanlah kata-kata yang kita gunakan
dan bagaimana kita memperlakukan ODHA, lalu cobalah untuk mengubah pikiran dan
tindakanmu.
2. Berbagilah pada orang lain mengenai
hal-hal yang sudah kita ketahui dan ajaklah mereka untuk membicarakan tentang
stigma dan bagaimana mengubahnya.
3. Atasilah masalah stigma ketika Anda
melihatnya di rumah, tempat kerja maupun masyarakat.
Bicaralah, katakan masalahnya dan buatlah orang paham bahwa stigma itu melukai.
4. Lawanlah stigma melalui kelompok.
Setiap kelompok dapat menemukan stigma dalam situasi mereka sendiri dan setuju
untuk melakukan satu atau dua tindakan praktis agar terjadi perubahan.
5. Mengatakan stigma sebagai sesuatu
yang “salah” atau “buruk” tidaklah cukup. Bantulah orang
untuk bertindak melakukan perubahan. Setuju pada tindakan yang harus dilakukan,
mengembangkan rencana dan lakukan.
6. Berpikir besar. Mulai dari yang
kecil, dan bertindak sekarang.
Hal-hal
yang dapat dilakukan secara individual:
1. Waspada
pada bahasa yang kita gunakan dan hindari kata-kata yang menstigma.
2. Sediakan
perhatian untuk mendengarkan dan mendukung anggota keluarga ODHA di rumah.
3. Kunjungi
dan dukung ODHA beserta keluarganya di lingkungan tempat tinggal kita.
4. Doronglah
ODHA untuk menggunakan layanan yang tersedia seperti konseling, test HIV,
pengobatan medis, ART, dan merujuk mereka pada siapa pun yang dapat menolong.
Hal-hal
yang dapat kita lakukan dengan melibatkan orang lain
1. Gunakan
percakapan informal sebagai kesempatan untuk membicarakan stigma.
2. Gunakan
kisah nyata sehingga dapat menggambarkan stigma dalam konteks praktis seperti
misalnya: cerita mengenai perlakuan buruk pada ODHA dapat mengakibatkan
depresi; demikian juga sebaliknya kisah nyata mengenai perlakuan baik pada ODHA
dan hasil yang dapat dipetik.
3. Tanggapi
kata-kata stigma ketika kita mendengarnya, namun lakukanlah dengan cara-cara
yang bijak sehingga membuat orang mengerti bahwa kata-kata mereka dapat melukai
hati orang.
4. Doronglah
orang untuk berbicara mengenai ketakutan dan kekhawatirannya mengenai HIV dan
AIDS.
5. Koreksilah
mitos dan persepsi tentang AIDS dan ODHA.
6. Promosikan
ide mengenai “menjadi pendengar yang baik dan bagaimana kita dapat mendukung
ODHA beserta keluarganya.”
Hal-Hal
Yang Dapat Dilakukan Agar Masyarakat Membicarakan Dan Bertindak Melawan Stigma
1. Testimoni
oleh ODHA maupun keluarganya mengenai pengalaman mereka hidup dengan HIV atau
hidup dengan orang yang positif HIV.
2. Pengawasan
bahasa (language watch). Lakukan “survei mendengarkan” untuk mengidentifikasi
kata-kata yang menstigma yang sering digunakan dalam masyarakat (di media maupun
lagu-lagu populer)
3. Community
mapping mengenai stigma. Tunjukkan peta pada tempat pertemuan.
4. Community
walk untuk mengidentifikasi titik stigma di masyarakat.
5. Pertunjukan
Drama berdasarkan kisah nyata.
6. Pameran
Gambar sebagai titik fokus untuk memulai diskusi mengenai stigma
Sumber :
3. BUKU
PEDOMAN PENGHAPUSAN STIGMA &DISKRIMINASI Bagi PENGELOLA PROGRAM, PETUGAS
LAYANAN KESEHATAN DAN KADER. Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Direktorat Pengendalian
Penyakit Menular Langsung Tahun 2012
0 Comments