Memastikan Kualitas Hidup Odha
Sejak obat antiretroviral (ARV) ditemukan dan secara luas digunakan, HIV
memasuki babak baru dalam perjalanan sejarahnya. Dari semula adalah penyakit
menular yang sangat mematikan, kini ia menjadi penyakit kronis yang apalagi
dikelola dengan baik akan memberi harapan hidup pengidapnya sama dengan mereka
yang tidak menyimpan virus di tubuhnya.
Pada awal epidemi, sebagian besar dari orang yang didiagnosa positif HIV
memiliki harapan hidup yang rendah. Jumlah mereka yang meninggal karena HIV
melampaui jumlah mereka yang meninggal karena kanker. Tapi sejak era ARV jumlah
kematian terkait AIDS turun drastis. Data yang tersedia dari Global Health
Observatory (WHO) tahun 2013 menunjukkan, diperkirakan pada tahun tersebut ada
1,5 juta orang (estimasi 1,4 – 1,7 juta) meninggal karena sebab-sebab terkait
AIDS. Meski mungkin tampak spektakular, sesungguhnya angka ini sudah menurun 22
persen dibanding tahun 2009. Bahkan dibanding tahun 2004-2005 – yang dipercaya
sebagai puncak pertumbuhan infeksi baru HIV secara global – angka tersebut
sudah turun sebanyak 35%. Penurunan risiko kematian pada anak-anak di bawah 15
tahun bahkan menunjukkan angka yang lebih baik: menurun 31 persen dibanding
tahun 2009 dan 40 persen dibanding tahun 2005.
Dengan harapan hidup yang terus membaik, kualitas hidup (quality of
life, QOL) menjadi tolok ukur keluaran medis yang paling penting dari HIV
dan AIDS. Pencapaian indikator yang terus-menerus diperbarui dan ditingkatkan
menjadi tujuan utamanya.
Kualitas hidup adalah istilah yang dipakai untuk menunjukkan kondisi sejahtera-sentosa (well-being)
dan meliputi antara lain kebahagiaan dan kepuasan terhadap hidup seseorang secara keseluruhan. Lebih jelasnya, WHO
menerjemahkan QOL sebagai “persepsi individual mengenai posisi dirinya di dalam
budaya dan sistem nilai dalam mana seseorang hidup, yang membentuk tujuan,
standar, harapan serta kepedulian dalam hidup.”
Aspek-aspek terkait kondisi kesehatan fisik,
akses ke ARV, kenyamanan
psikologis, sistem dukungan sosial, strategi untuk bertahan, spiritualitas, serta komorbiditas psikologis akibat stigma dan
diskriminasi yang sangat mempengaruhi persepsi tersebut kini menjadi fokus dari
peneliti dan penyedia layanan kesehatan yang menangani orang dengan HIV dan
AIDS (odha).
Baca juga :
Selain ARV, penelitian di bidang pengobatan menjadikan sebagian besar
masalah fisik akibat infeksi oportunistik dan beberapa jenis kanker terkait
AIDS bisa diatasi. Namun ternyata kemajuan ini belum atau tidak berkorelasi
dengan perilaku sehat. Di Amerika, menurut laporan CDC yang dikutip oleh
nbcnews.com baru-baru ini menunjukkan terjadi peningkatan kasus penyakit
menular seksual seperti gonore, sifilis dan klamidia. Gejala ini sudah tampak
di Amerika sejak 2006. Agaknya kemajuan ARV juga memiliki “sisi gelap”. Di satu
sisi ARV membangkitkan eforia orang akan harapan hidup yang lebih tinggi, tapi
di sisi lain orang menjadi lupa untuk menjaga perilaku sehat. Jumlah pemakaian
kondom, misalnya, menunjukkan penurunan yang jelas.
Harus diingat bahwa ARV tidak bisa mencegah
penularan Neisseria gonorrhoeae atau gonococcus, Treponema
pallidum, dan chlamydia trachomatis. Mereka yang aktif secara
seksual harus memiliki pengetahuan mengenai
penyakit-penyakit menular seksual ini, cara penularan, cara pencegahan,
sekaligus cara pengobatannya. Harus diingat pula bahwa kebanyakan penyakit
menular seksual tidak menampakkan gejala sampai memasuki tahap yang parah dan
akibatnya sulit diobati. Pada perempuan penyakit menular seksual juga bisa
menyebabkan infertilitas.
Kesimpulannya, ARV tidak akan memperbaiki harapan hidup jika perilaku hidup tidak diperbaiki. Memakai kondom, tidak berganti-ganti pasangan, dan menerapkan pola hidup sehat harus dilakukan agar keberhasilan terapi yang “dijanjikan” ARV dapat tercapai.
Kembali ke masalah QOL, catatan global WHO menunjukkan bahwa banyak sekali
pasien HIV yang masih menghadapi masalah sosial: stigma, kemiskinan, ketiadaan
pekerjaan atau sumber penghasilan, tidak memiliki jaminan sosial apapun, tidak
ada pasangan, depresi, penyalahgunaan obat dan zat terlarang, dan sebagainya.
Masalah-masalah ini mempengaruhi aktivitas dan semangat hidup pasien. Kesadaran
akan besarnya masalah mendorong para ahli mengembangkan berbagai instrumen
untuk menilai kualitas hidup terkait persepsi seseorang mengenai beban sakit
kronis yang dihadapinya. Selain itu ada instrumen untuk memonitor secara
berkala perubahan kondisi kesehatan odha, serta instrumen penilaian terhadap
hasil pengobatan dan investasi pengobatan yang telah dikeluarkan.
Setidaknya ada enam ranah (domain) yang mempengaruhi kualitas
hidup odha: kesehatan fisik, psikologis, kemandirian, relasi sosial,
lingkungan, dan spiritualitas atau keyakinan, yang semuanya saling berjalin
berkelindan. Faktor-faktor yang termasuk di dalam masing-masing domain dirangkum
dalam table berikut:
Ranah
|
Faktor-faktor yang dicakup
|
1.
Fisik
|
§ Tingkat energi dan kelelahan
§ Nyeri dan ketidaknyamanan
§ Kualitas tidur dan istirahat
|
2.
Psikologis
|
§ Citra terhadap tubuh dan
penampilan
§ Perasaan negatif
§ Perasaan positif
§ Harga diri
|
3.
Kemandirian
|
§ Mobilitas
§ Kegiatan sehari-hari
§ Ketergantungan terhadap
obat-obatan atau peralatan medis
§ Kemampuan bekerja
|
4.
Relasi
Sosial
|
§ Hubungan pribadi
§ Dukungan sosial
§ Aktivitas seksual
|
5.
Lingkungan
|
§ Sumberdaya keuangan
§ Kebebasan, keamanan dan
perlindungan fisik
§ Jaminan sosial dan kesehatan:
aksesibilitas dan kualitas
§ Lingkungan rumah
§ Kesempatan untuk mendapatkan
informasi dan keterampilan baru
§ Kesempatan untuk rekreasi dan
kesenangan
§ Lingkungan fisik (termasuk kadar
polusi, kebisingan dan iklim)
§ Transportasi
|
6.
Spiritualitas
dan keyakinan
|
§ Agama
§ Spiritualitas
§ Keyakinan pribadi
|
Untuk odha di antara variabel penting
yang harus dikontrol untuk memastikan kesehatan fisik yang bagus adalah
jumlah virus dalam darah (viral load), jumlah CD4, kadar haemoglobin, gejala-gejala
terkait HIV, yang semuanya menentukan kualitas kehidupan odha. Faktor
lain yang tak kalah pentingnya adalah keteraturan dalam minum obat. Semakin
teratur dan adherens, semakin baik kualitas hidup yang akan didapatkan.
Seperti pernah penulis singgung dalam artikel terdahulu,
Masalah “ketidakpatuhan” (non-compliance) dalam
dunia medis sudah lama ditengarai sebagai penyebab utama kegagalan pengobatan beberapa jenis penyakit yang
membutuhkan waktu panjang untuk outcome (hasil pengobatan) terbaik.
Dokter-dokter Penyakit Dalam yang menangani pasien diabetes punya segudang
cerita mengenai pasien yang tidak teratur meminum obatnya. Demikian pula dengan
pasien dengan hipertensi, pasien diabetes, lupus (SLE), tuberkulosis, atau
orang dengan HIV/AIDS (odha). Padahal obat-obat untuk penyakit-penyakit
tersebut sudah tersedia, murah (obat anti TB dan ARV untuk odha malah gratis
untuk lini satu dan dua), dan ada banyak pilihan. Jika pasien tidak cocok
dengan satu jenis obat karena efek sampingnya, misalnya, dokter dengan mudah
akan memilihkan obat lain yang lebih ringan efek sampingnya.
Perilaku non-compliance masih
terus menjadi masalah besar bagi dunia kedokteran. Ia menyebabkan resistensi obat, meningkatkan angka morbiditas dan
bahkan mortalitas yang sesungguhnya tidak perlu terjadi, dan tentu saja
meningkatkan biaya kesehatan.
Sampai hari ini tak ada solusi yang lebih baik
atas masalah yang dihadapi odha dari pada mengonsumsi
ARV secara teratur, yang dapat menghambat progresivitas perjalanan
penyakit secara bermakna dan meningkatkan kualitas hidup. Dengan pengawasan dan
ketaatan yang tinggi dalam meminum obat odha akan maksimal terhindar dari
stress dan depresi yang umum dialami oleh mereka yang mengalami kondisi
(penyakit) kronis. Penelitian mengenai ARV dalam kaitannya dengan kualitas odha
sudah banyak dilakukan di seluruh dunia, antara lain di Cina, Vietnam,
Bangladesh dan beberapa negara Afrika. Kesimpulannya sama: sangat perlunya
perluasan akses terhadap ARV dan kualitas layanan untuk meningkatkan adherens
melalui mekanisme monitoring dan evaluasi yang baik.
Mutu Hidup Odha
Mutu
hidup ini diukur dari 5 pilar yaitu memiliki kepercayaan diri, memiliki
pengetahuan dasar HIV, memiliki akses
layanan dukungan, pengobatan, dan perawatan,
tidak
menularkan virus ke orang lain, dan melakukan aktivitas positif .
Odha laki-laki mutu hidupnya lebih tinggi daripada Odha perempuan. Odha waria
dan penasun lebih tinggi mutu hidupnya dibandingkan kelompok populasi risiko
lainnya. Mutu hidup Odha secara keseluruhan meningkat karena adanya sebuah
proses, mulai dari kepercayaan diri, hingga memiliki motivasi dalam menjalankan
kehidupan ke depan.
Pilar pertama
Odha
yang memiliki kepercayaan diri.
Dengan memiliki percaya diri, Odha mampu untuk menerima status HIV secara
positif, memiliki kenyamanan dan keberanian untuk membuka status kepada orang
terdekat, serta memiliki kenyaman berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang
di sekitarnya. Odha yang memiliki percaya diri lebih banyak pada laki-laki dan
dari populasi risiko penasun.
Pilar kedua,
pengetahuan HIV/AIDS.
Odha
membutuhkan pengetahuan dasar HIV/AIDS, pengetahuan pengobatan HIV/AIDS, dan
pengetahuan tentang infeksi oportunistik. Pengetahuan dasar yang dimiliki Odha
menunjukkan 88 % baik. Pengetahuan dasar HIV yang baik sangat banyak dimiliki
oleh Odha yaitu 92 %, sedangkan pengetahuan tentang pengobatan dan pengetahuan
infeksi oportunistik masih kurang dipahami oleh Odha.
Pilar ketiga,
Odha
juga mendapatkan layanan dukungan
mental, pengobatan, dan perawatan.
Sebesar
84,9 % Odha mengakses layanan dukungan, pengobatan, dan perawatan. Odha yang
mendapatkan layanan dukungan mental paling banyak dari kelompok dukungan
sebaya, dokter, dan keluarga serta konselor. Akses layanan pengobatan dan
perawatan menunjukkan Odha memiliki kemudahan dalam mengakses layanan
pengobatan dan perawatan. Hasil mengakses layanan rawat inap, layanan
pemeriksaan dokter, dan layanan obat ARV dinyatakan mudah oleh Odha dengan
persentase 79,5 %- 82,5 %. Akses layanan Pap smear belum optimal dimanfaatkan
oleh Odha perempuan walaupun sebagian besar menyatakan layanan Pap smear mudah
untuk diakses. Odha juga menyatakan bahwa layanan IMS mudah untuk diakses.
Pilar keempat,
menggambarkan
perilaku pencegahan terinfeksi HIV
yang dilakukan oleh Odha. Odha yang memiliki perilaku tidak berisiko menularkan
virus ke orang lain mencapai 73,9 %. Selalu menggunakan kondom saat berhubungan
seksual setelah mengetahui status HIV mencapai 51,3 %. Sebanyak 40,6 % Odha
menyatakan mendapatkan kondom dengan gratis. Berdasarkan jenis kelamin, Odha
laki-laki lebih banyak yang selalu menggunakan kondom dibanding Odha perempuan.
Dan Odha dari kelompok risiko pekerja seks, waria, dan gay lebih banyak yang
selalu menggunakan kondom daripada kelompok risiko yang lain. Penggunaan jarum
suntik steril saat pada pengguna narkoba suntik yang masih aktif sebesar 43,3
%, dan sebagian besar menyatakan mudah untuk mendapatkan jarum suntik steril.
Sebesar 77,4 % menyatakan tidak pernah menggunakan layanan PMTCT sebagai
program pencegahan infeksi HIV dari ibu ke anak, walaupun sebagian besar Odha
menyatakan mudah dalam akses program PMTCT tersebut.
Pilar kelima,
kegiatan positif
yang dilakukan oleh Odha setelah mengetahui status HIV. Sebesar 56,3 % Odha
memiliki kegiatan positif. Ada 73,2 % Odha menyatakan bekerja, 33,9 % melakukan
kegiatan melanjutkan pendidikan formal, 15,7 % melakukan kegiatan kursus
keterampilan, dan 39,5 % masih melakukan kegiatan hobi. Sebagian Odha berhenti
dari pekerjaan atau tidak memiliki pekerjaan karena merasa memiliki fisik yang
lemah. Sebesar 66,7 % Odha menyatakan memiliki rencana untuk menikah, dan 56 %
menyatakan rencana untuk memiliki anak.
Di dalam Pencegahan Positif, terdapat tiga pilar atau tiga
pedoman dalam pelaksanaannya, yaitu :
·
Peningkatan kualitas hidup ODHA
·
Pencegahan untuk tidak tertular HIV baru maupun infeksi lainnya
dari orang lain
·
Pencegahan untuk tidak menularkan HIV kepada orang lain.
Pencegahan Positif menjadi penting karena mempunyai manfaat
seperti :
·
Mendukung ODHA meningkatkan martabat dan rasa percaya diri dalam
menjalani hidupnya.
·
Mencegah infeksi HIV baru
·
Meningkatkan kesehatan dan mengurangi sakit serta perawatan di
RS
·
Mencegah penularan HIV yang resisten ARV
Dalam menjalani Pencegahan Positif ini pun banyak tantangan yang
perlu dihadapi, seperti halnya :
·
Informasi pengetahuan terkait HIV AIDS yang belum merata ke
semua pihak dan lapisan masyarakat.
·
Tantangan terkait dengan kebijakan maupun perda yang kurang
mendukung program pencegahan HIV AIDS maupun program untuk perawatan ODHA.
·
Tantangan terkait akses layanan kesehatan yang belum merata,
prosedur tiap layanan yang berbeda, serta pemenuhan jaminan kesehatan.
·
Tantangan yang berkaitan dengan dunia pendidikan tinggi di mana
masih ada perguruan tinggi yang tidak mau menerima isu HIV , padahal penting
isu ini diintegrasikan ke dalam pendidikan.
·
Tantangan yang berkaitan dengan Stigma dan diskriminasi HIV-AIDS
yang masih kuat sehingga selalu memosisikan Odha pada posisi sulit.
·
Tantangan yang berkaitan dengan isu membuka status HIV kepada
pasangan maupun keluarga dan relasi pasangan yang serodiskordan (pasangan
dimana salah satu terinfeksi HIV) sering membuat mereka menemui kesulitan dalam
mengambil keputusan pilihan kesehatan reproduksi yang tepat dalam rangka
menegakan hak reproduksi. Di samping itu pengetahuan yang terbatas tentang reinfeksi
HIV dengan galur virus yang berbeda membuat pasangan yang konkordan (pasangan
dimana keduanya terinfeksi HIV) tidak melakukan pencegahan seperti misalnya
mengabaikan seks aman.
Jadi kurang lebih seperti itu sekilas informasi terkait
Pencegahan Positif. Karena masih banyaknya pemahaman yang berbeda, inti dari
Pencegahan Positif masih di dalam lingkup PDP ( Perawatan Dukungan dan
Pengobatan ).
Sumber ;
1.
http://spiritia.or.id/cdn/files/dokumen/laporan-penelitian-peran-dukungan-sebaya_5c34c1090765a.pdf
0 Comments