KONTEKS SOSIOKULTURAL
Teori belajar
sosiokultur berangkat dari penyadaran tentang betapa pentingnya sebuah
pendidikan yang melihat proses kebudayaan dan pendidikan yang tidak bisa
dipisahkan. Pendidikan dan kebudayaan memiliki keterkaitan yang sangat erat, di
mana pendidikan dan kebudayaan berbicara pada tataran yang sama, yaitu
nilai-nilai. Tylor dalam H.A.R Tilaar (2002: 7) telah menjalin tiga pengertian
manusia, masyarakat dan budaya sebagai tiga dimensi dari hal yang bersamaan.
Oleh sebab itu pendidikan tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan dan hanya
dapat terlaksana dalam suatu komunitas masyarakat
Ainul Yaqin (2005: 6)
berpendapat bahwa “budaya adalah sesuatu yang general dan spesifik sekaligus”.
General dalam hal ini berarti setiap manusia di dunia ini mempunyai budaya,
sedangkan spesifik berarti setiap budaya pada kelompok masyarakat adalah
bervariasi antara satu dan lainnya. Sedangkan Tylor dalam H.A.R Tilaar (2002:
39) berpendapat bahwa “Budaya atau peradaban adalah suatu keseluruhan yang
kompleks dari pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat,
serta kemampuaan kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai
anggota masyarakat”.
H.A.R Tilaar (2002: 41) sendiri berpendapat bahwa kebudayaan
merupakan suatu proses pemanusiaan yang artinya di dalam kehidupan berbudaya
terjadi perubahan, perkembangan dan motivasi.
Pentingnya kebudayaan dalam kehidupan manusia inilah
yang kemudian mendasari bahwa kebudayaan tidak bisa dilepaskan dari pendidikan.
Melihat kondisi bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai budaya, Syamsul Ma‟arif
(2005: 90) berpendapat bahwa masyarakat yang harus mengekspresikan pendidikan
kebudayaan adalah masyarakat yang secara obyektif memiliki anggota yang
heterogenitas dan pluralitas.
Diawali dari hal tersebut di atas, muncul Teori
belajar sosiokultur yang di pelopori oleh Lev Vygotsky. Teori belajar
sosiokultur atau yang juga dikenal sebagai teori belajar ko-kontruktivistik merupakan
teori belajar yang titik tekan utamanya adalah pada bagaimana seseorang belajar
dengan bantuan orang lain dalam suatu zona keterbatasan dirinya yaitu Zona
Proksimal Development (ZPD) atau Zona Perkembangan Proksimal dan mediasi.
Di mana anak dalam perkembangannya membutuhkan orang lain untuk memahami
sesuatu dan memecahkan masalah yang dihadapinya
Teori yang juga disebut sebagai teori konstruksi
sosial ini menekankan bahwa intelegensi manusia berasal dari masyarakat,
lingkungan dan budayanya. Teori ini juga menegaskan bahwa perolehan kognitif
individu terjadi pertama kali melalui interpersonal (interaksi dengan
lingkungan sosial) intrapersonal (internalisasi yang terjadi dalam diri
sendiri).
Inti dari teori belajar sosiokultur ini adalah
penggunaan alat berfikir seseorang yang tidak dapat dilepaskan dari pengaruh
lingkungan sosial budayanya. Lingkungan sosial budaya akan menyebabkan semakin kompleksnya
kemampuan yang dimiliki oleh setiap individu.
Guruvalah berpendapat bahwa teori-teori yang
menyatakan bahwa “siswa itu sendiri yang harus secara pribadi menemukan dan
menerapkan informasi kompleks, mengecek informasi baru dibandingkan dengan aturan
lama dan memperbaiki aturan itu apabila tidak sesuai lagi”. Teori belajar
Sosiokultur ini menekankan bahwa perubahan kognitif hanya terjadi jika
konsepsi-konsepsi yang telah dipahami diolah melalui suatu proses
ketidakseimbangan dalam upaya memakai informasi-informasi baru. Teori belajar
sosiokultur meliputi tiga konsep utama, yaitu :
1. Hukum Genetik tentang Perkembangan
Perkembangan menurut Vygotsky tidak bisa hanya dilihat dari
fakta-fakta atau keterampilan-keterampilan, namun lebih dari itu, perkembangan
seseorang melewati dua tataran. Tataran soaial tempat orang-orang membentuk
lingkungan sosialnya (dapat dikategorikan sebagai interpsikologis atau
intermental), dan tataran sosial di dalam diri orang yang bersangkutan (dapat
dikategorikan sebagai intrapsikologis atau intramental).
Teori sosiokultur menempatkan intermental atau lingkungan
sosial sebagai faktor primer dan konstitutif terhadap pembentukan pengetahuan
serta perkembangan kognitif seseorang. Fungsi-fungsi mental yang tinggi dari
seseorang diyakini muncul dari kehidupan sosialnya. Sementara itu, intramental
dalam hal ini dipandang sebagai derivasi atau turunan yang terbentuk melalui
penguasaan dan internalisasi terhadap proses-proses sosial tersebut, hal ini
terjadi karena anak baru akan memahami makna dari kegiatan sosial apabila telah
terjadi proses internalisasi. Oleh sebab itu belajar dan berkembang satu kesatuan
yang menentukan dalam perkembangan kognitif seseorang.
2. Zona Perkembangan Proksimal
Zona Perkembangan Proksimal/Zona Proximal Development (ZPD)
merupakan konsep utama yang paling mendasar dari teori belajar sosiokultur
Vygotsky. Dalam Luis C. Moll (1993: 156-157), Vygotsky berpendapat bahwa setiap
anak dalam suatu domain mempunyai „level perkembangan aktual‟ yang dapat
dinilai dengan menguji secara individual dan potensi terdekat bagi perkembangan
domain dalam tersebut. Vygotsky mengistilahkan perbedaan ini berada di antara
dua level Zona Perkembangan Proksimal, Vygotsky mendefinisikan Zona
Perkembangan Proksimal sebagai jarak antara level perkembangan aktual seperti
yang ditentukan untuk memecahkan masalah secara individu dan level perkembangan
potensial seperti yang ditentukan lewat pemecahan masalah di bawah bimbingan
orang dewasa atau dalam kolaborasi dengan teman sebaya yang lebih mampu. Secara
jelas Vygotsky memberikan pandangan yang matang tentang konsep tersebut seperti
yang dikutip oleh Luis C. Moll (1993: 157)
Zona Perkembangan Proksimal mendefinisikan fungsi-fungsi
tersebut yang belum pernah matang, tetapi dalam proses pematangan.
Fungsi-fungsi tersebut akan matang dalam situasi embrionil pada waktu itu.
Fungsi-fungsi tersebut dapat diistilahkan sebagai “kuncup” atau “bunga”
perkembangan yang dibandingkan dengan “buah” perkembangan.
Yuliani (2005: 45) mengartikan “Zona Perkembangan Proksimal
sebagai fungsi-fungsi atau kemampuan yang belum matang yang masih berada pada proses
pematangan”. Karena fungsi-fungsi yang belum matang ini maka anak membutuhkan
orang lain untuk membantu proses pematangannya. Sedangkan I Gusti Putu Suharta
dalam makalahnya berpendapat bahwa :
Zone of Proximal Development (ZPD) merupakan jarak antara
tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan
pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang
didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang
dewasa atau melalui kerjasama dengan teman sejawat yang lebih mampu.
Hal ini dapat diartikan bahwa perkembangan penuh ZPD
tergantung pada interaksi sosial yang penuh, di mana keahlian dapat diperoleh
dengan bimbingan oraang dewasa atau kolaborasi antar kawan sebaya ataupun orang
yang lebih faham melampaui apa yang difahaminya.
Dalam Yuliani (2005: 45) Vygotsky mengemukakan ada empat
tahapan ZPD yang terjadi dalam perkembangan dan pembelajaran yang menyangkut
ZPD, yaitu :
Tahap 1 : Tindakan anak masih dipengaruhi atau dibantu
orang lain.
Seorang anak yang masih dibantu memakai baju, sepatu dan kaos kakinya
ketika akan berangkat ke sekolah ketergantungan anak pada orang tua dan
pengasuhnya begitu besar, tetapi ia suka memperhatikan cara kerja yang
ditunjukkan orang dewasa
Tahap 2 : Tindakan anak yang didasarkan atas inisiatif
sendiri.
Anak mulai berkeinginan untuk mencoba memakai baju, sepatu dan kaos
kakinya sendiri tetapi masih sering keliru memakai sepatu antara kiri dan
kanan. Memakai bajupun masih membutuhkan waktu yang lama karena keliru
memasangkan kancing.
Tahap 3 : Tindakan anak berkembang spontan dan
terinternalisasi.
Anak mulai melakukan sesuatu tanpa adanya perintah dari orang dewasa.
Setiap pagi sebelum berangkat ia sudah mulai faham tentang apa saja yang harus
dilakukannya, misalnya memakai baju kemudian kaos kaki dan sepatu.
Tahap
4 : Tindakan anak spontan akan terus diulang-ulang hingga anak siap untuk
berfikir abstrak.
Terwujudnya
perilaku yang otomatisasi, anak akan segera dapat melakukan sesuatu tanpa
contoh tetapi didasarkan pada pengetahuannya dalam mengingat urutan suatu
kegiatan. Bahkan ia dapat menceritakan kembali apa yang dilakukannya saat ia
hendak berangkat ke sekolah.
Pada empat tahapan ini dapat disimpulkan bahwa.
Seseorang akan dapat melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak bisa dia lakukan
dengan bantuan yang diberikan oleh orang dewasa maupun teman sebayanya yang
lebih berkompeten terhadap hal tersebut.
3. Mediasi
Mediasi merupakan tanda-tanda atau lambang-lambang yang
digunakan seseorang untuk memahami sesuatu di luar pemahamannya. Ada dua jenis
mediasi yang dapat mempengaruhi pembelajaran yaitu, (1) tema mediasi semiotik
di mana tanda-tanda atau lambang-lambang yang digunakan seseorang untuk
memahami sesuatu di luar pemahamannya ini didapat dari hal yang belum ada di
sekitar kita, kemudian dibuat oleh orang yang lebih faham untuk membantu
mengkontruksi pemikiran kita dan akhirnya kita menjadi faham terhadap hal yang
dimaksudkan; (2) scaffalding di mana tanda-tanda atau lambang-lambang
yang digunakan seseorang untuk memahami sesuatu di luar pemahamannya ini
didapat dari hal yang memang sudah ada di suatu lingkungan, kemudian orang yang
lebih faham tentang tanda-tanda atau lambang-lambang tersebut akan membantu
menjelaskan kepada orang yang belum faham sehingga menjadi faham terhadap hal
yang dimaksudkan.
Revolusi Budaya dan Pelayanan Kesehatan
Sejarah
Perkembangan Keperawatan KomunitasPerkembangan
keperawatan kesehatan masyarakat tidak terlepas dari tokoh metologi Yunani,
yaitu Asclepius dan Higeia. Berdasarkan mitos Yunani bahwa Asclepius adalah
seorang dokter yang tampan dan pandai, meskipun tidak disebutkan di sekolah
atau pendidikan apa yang telah ditempuhnya. Berdasarkan mitos orang Yunani
bahwa dia dapat mengobati penyakit dan bahkan melakukan bedah berdasarkan
prosedur-prosedur tertentu (surgical
procedure) dengan baik. Hegeia adalah asisten Asclepiusdan juga merupakan
istrinya, dia juga telah melakukan upaya-upaya kesehatan.
Tabel 2.1 Perbedaan Penanganan Masalah
Kesehatan Antara Asclepius Dan Hegeia
Menurut
|
Cara
Penanganan Masalah Kesehatan Masyarakat
|
Asclepius
|
Dilakukan
setelah penyakit tersebut terjadi pada seseorang
|
Hegeia
|
1. Penanganan
masalah melalui hidup seimbang
2. Menghindari
makanan atau minuman beracun
3. Makan makanan
yang bergizi (cukup)
4. Istirahat yang
cukup
5. Olahraga
|
Tabel
2.2 Perbedaan Pelayanan Kesehatan Kuratif dan Pelayanan Pencegahan
Permulaan abad I-VII menunjukkan keberadaan kesehatan masyarakat dirasakan semakin penting. Berikut alasan pentingnya keberadaan kesehatan masyarakat:
Tingkat Pelayanan
|
||
Currative
Health Care
|
Preventive
Health Care
|
|
Cara Pengananan Masalah Kesehatan
|
[1] Sasaran
Individu.
[2] Kontak pada
klien hanya satu kali.
[3] Jarak petugas
kesehatan dengan klien jauh.
[4] Pendekatan
cara ini cenderung :
· Bersifat
reaktif, umumnya menunggu masalah datang, yang berarti dianggap masalah
kesehatan timbul bila ada penyakit. Disini petugas kesehatan hanya menunggu
klien datang.
· Cenderung
melihat dan menangani masalah klien lebih pada system biologis. Artinya manusia
atau klien hanya dilihat secara parsial, padahal manusia terdiri atas aspek
bio-psiko-sosio dan spiritual.
|
[1] Sasarannya
adalah masyarakat sebagai klien.
[2] Masalah yang
ditangani adalah masalah yang dirasakan oleh masyarakat, bukan masalah
individu.
[3] Hubungan
petugas kesehatan dan masyarakat bersifat kemitraan.
[4] Cara
pendekatan :
· Bersifat
proaktif, artinya tidak menunggu adanya masalah, tetapi mencari apa penyebab
masalah. Petugas kesehatan masyarakat tidak hanya menunggu datangnya klien,
tetapi harus turun ke masyarakat untuk mencari dan mengidentifikasi masalah
yang ada pada masyarakat untuk selanutnya melakukan tindakan.
· Melihat klien
sebagai makhluk yang utuh, artinya melihat manusia atau klien melalui
pendekatan yang holistic, bahwa terjadinya penyakit tidak semata-mata karena
terganggunya pada salah satu aspek, yaitu aspek biologis atau aspek yang lain
saja. Pada pendekatan ini cara pandangnya adalah dengan pendekatan yang utuh
pada semua aspek, baik biologis, psikologis, sosiologis, social, maupun
spiritual.
|
Periode Perkembangan Kesehatan Masyarakat
1. Periode Sebelum Ilmu Pengetahuan (Pre-Scientific Period)
Perkembangan kesehatan masyarakat sebelum ilmu pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari sejarah kebudayaan yang ada di dunia. Budaya dari Negara Babilonia, Mesir, Yunani, dan Roma menunjukkan bahwa manusia telah melakukan usaha untuk penanggulangan masalah-masalah kesehatan masyarakat dan penyakit. Pada zaman tersebut diperoleh catatan bahwa telah dibangun tempat pembuangan kotoran (latrin) umum untuk menampung tinja atau kotoran manusia. Pada waktu itu latrin dibangun dengan tujuan agar tinja tidak menimbulkan bau yang tidak sedap dan pandangan yang tidak menyenangkan. Jadi, pada saat itu belom ada pemikiran bahwa latrin dibangun dengan alasan kesehatan, karena tinja atau kotoran manusia dapat menularkan penyakit. Pembuatan sumur pada masyarakat dengan alasan bahwa minum air sungai yang mengalir dan sudah kotor terasa tidak enak, bukan karena minum air sungai dapat dapat menyebabkan penyakit (Greene, 1984). Dokumen lain mencatat bahwa pada zaman romawi kuno telah dikeluarkan suatu peraturan yang mengharuskan kepada masyarakat mencatatkan pembangunan rumah, melaporkan adanya binatang-binatang yang berbahaya, dan melaporkan binatang peliharaan yang dapat menimbulkan bau. Pemerintah melakukan supervisi atau peninjauan kepada tempat-tempat minuman (public bar), warung makanan, tempat prostitusi, dan lain-lain (Hanlon,1974).Permulaan abad I-VII menunjukkan keberadaan kesehatan masyarakat dirasakan semakin penting. Berikut alasan pentingnya keberadaan kesehatan masyarakat:
- Berbagai penyakit menular yang menyerang penduduk telah menjadi epidemi, bahkan ada yang menjadi endemis.
- Di Asia, khususnya Timur Tengah dan Asia Selatan-Afrika, penyakit kolera telah tercatat sejak abad VII, bahkan India penyakit kolera telah menjadi endemis. Penyakit lepra telah menyebar ke Mesir, Asia Kecil, dan Eropa melalui emigrant.
- Lingkungan, terutama hygiene dan sanitasi lingkungan.
- Pembuangan kotoran manusia (latrin).
- Mengusahakan air minum bersih.
- Pembuangan sampah.
- Pembuatan ventilasi yang memenuhi syarat.
2. Periode Ilmu Pengetahuan (Scientific Period)
Pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 dengan diawali dengan bangkitnya ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan mempunyai dampak yang sangat luas pada segala aspek kehidupan manusia, termasuk pada aspek kesehatan. Pada abad ini pendekatan dalam penganganan masalah kesehatan tidak hanya memandang pada aspek biologis saja, tetapi sudah komprehensif dan multisektoral. Pada abad ini telah ditemukan berbagai macam penyebab penyakit dan vaksin sebagai pencegahan penyakit.
Tabel 2.3 Penenemu dan
Hasil Penemuan dalam Penanggulangan Penyakit
Penemu
|
Hasil Temuan
|
Louis Pasteur
|
Vaksin untuk mencegah penyakit cacar
|
Joseph Lister
|
Asam karbol (carbolic acid) untuk sterilisasi ruang operasi
|
Wiliam Marton
|
Ether sebagai anastesi pada waktu
operasi
|
Upaya-upaya
kesehatan masyarakat secara ilmiah dilaksanakan di Inggris. Hal ini terkait
dengan wabah penyakit endemis kolera tahun 1832yang terjadi pada masyarakat
perkotaan, terutama masyarakat miskin. Parlemen Inggris membentuk komisi
penanganan pada penyakit ini dan Edwin Chadwich seorang pakar social (social scientist) ditunjuk sebagai ketua
komisi untuk melakukan penyelidikan pada penyebab kasus wabah kolera.
Generasi
setelah Chadwich adalah Winslow yang menjadi muridnya, kemudian dikenal sebagai
Pembina kesehatan masyarakat modern (public
health modern). Ia menciptakan definisi untuk kesehatan masyarakat yang
telah diterima oleh WHO, yang kemudian lahirlah berbagai definisi sehat.
3. Perkembangan Kesehatan Masyarakat di Indonesia
Perkembangan
kesehatan masyarakat di Indonesia dimulai pada abad ke-16. Diawali dengan upaya
pemberantasan penyakit cacar dan kolera yang sangat ditakuti oleh masyarakat
pada waktu itu. Penyakit kolera masuk ke Indonesia pada tahun 1927, dan pada
tahun 1937 terjadi wabah kolera eltor, tahun 1948 cacar masuk Indonesia melalui
singapura dan mulai berkembang di Indonesia. Berawal dari wabah kolera
tersebut, maka pemerintah belanda (pada waktu itu dalam penjajahan Belanda)
melakukan upaya-upaya kesehatan masyarakat. Tahun 1807 saat pemerintahan
Gubernur Jenderal Deandels, dilakukan upaya pelatihan dukun bayi dalam praktek
persalinan. Upaya inidilakukan dalam rangka menurunkan angka kematian bayi (infant mortality rate) yang tinggi pada
waktu itu. Namun upaya ini tidak bertahan lama dikarenakan langkanya tenaga
pelatih kebidanan. Baru pada 1930 dimulai lagi program ini dengan
didaftarkannya para dukun bayi sebagai penolong dan perawat persalinan.
Pada
tahun 1925, Hydrich seorang petugas kesehatan Pemerintah Belanda melakukan pengamatan terhadap masalah tingginya angka kematian dan kesakitan di Banyumas
Purwokerto. Hasil pengamatan dan analisisnya disimpulkan bahwa tingginya angka
kesakitan dan kematian dikarenakan buruknya kondisi sanitasi lingkungan,
pembuangan kotoran atau tinja di sembarang tempat, dan penggunaan air minum
dari sungai yang telah tercemar. Oleh karena itu, Hydrich melalui upaya
kesehatan masyarakat mengembangkan daerah percontohan dengan cara melakukan
“propaganda” pendidikan penyuluhan kesehatan. Sampai sekarang usaha Hydrich ini
dianggap sebagai awal kesehatan masyarakat di Indonesia.
Memasuki
zaman kemerdekaan, salah satu tonggak perkembangan kesehatan masyarakat di
Indonesia adalah diperkenalkannya Konsep Bandung (Bandung Plan) tahun 1951 oleh dr. Y. Leimena dan dr. Patah yang
selanjutnya dikenal dengan nama Patah-Leimena. Dalam konsep ini diperkenalkan
bahwa upaya pelayanan kesehatan masyarakat pada aspek preventif dan kuratif
tidak dapat dipisahkan. Hal ini berarti dalam mengembangkan system pelayanan
kesehatan kedua aspek ini tidak boleh dipisahkan, baik di rumah sakit maupun
puskesmas. Selanjutnya pada tahun 1956 dimulai kegiatan pengembangan kesehatan
masyarakat oleh dr. Y Sulianti dengan berdirinya Proyek Bekasi (Lemah Abang)
sebagai proyek percontohan atau model pelayanan bagi pengembangan kesehatan
masyarakat pedesaan di Indonesia, sekaligus sebagai pusat pelatihan tenaga
kesehatan. Proyek ini juga menekankan pendekatan tim dalam pengelolaan program
kesehatan. Pada bulan November 1967 dilakukan seminar yang membahas serta
merumuskan program kesehatan masyarakat terpadu sesuai dengan kondisi dan
kemampuan rakyat Indonesia. Konsep Puskesmas dibahas oleh dr Achmad Dipodiglo
dengan mengacu pada Konsep Bandung dan Proyek Bekasi. Kesimpulan dan
kesepakatan yang dicapai dalam seminar ini adalah system puskesmas yang terdiri
atas puskesmas tipe A, B, dan C. Akhirnya, pada tahun 1968 dalam rapat kerja
kesehatan nasional, dicetuskan bahwa Puskesmas merupakan system pelayanan
kesehatan terpadu yang kemudian dikembangkan oleh pemerintah (Departemen
Kesehatan) menjadi Pusat Pelayanan Kesehatan Masyarakat (Puskesmas).
Puskesmas
disepakati sebagai suatu unit pelayanan kesehatan yang memberikan pelayanan
kuratif dan preventif secara terpadu, menyeluruh, dan dijangkau oleh wilayah
kerja kecamatan atau sebagai kecamatan di kotamadya atau kabupaten.
Jangkauan Pelayanan Kesehatan
Sesuai dengan keadaan
geografis, luas wilayah, sarana perhubungan, dan kepadatan penduduk dalam
wilayah kerja puskesmas, ternyata tidak semua penduduk mendapatkan akses
layanan puskesmas dengan mudah. Agar jangkauan pelayanan puskesmas lebih merata
dan meluas, puskesmas perlu ditunjang dengan puskesmas pembantu dan bidan desa.
Di samping itu, penggerakan peran serta masyarakat untuk mengelola posyandu dan
membina dasawisma akan menunjang jangkauan pelayanan kesehatan.
1. Dukungan Rujukan
1) System rujukan upaya kesehatan
System rujukan upaya
kesehatan adalah suatu system jaringan pelayanan kesehatan yang memungkinkan
terjadinya penyerahan tanggung jawab secara timbale balik atas timbulnya
masalah dari suatu kasus atau masalah kesehatan masyarakat, baik secara
vertical maupun horizontal.
2) Jenis rujukan
- Rujukan Medis, meliputi :
- konsultasi penderita untuk keperluan diagnostic pengobatan, tindakan operatif, dan lain-lain;
- pengiriman bahan (specimen) untuk pemeriksaan laboratorium yang lebih lengkap;
- mendatangkan atau mengirim tenaga yang lebih kompeten atau ahli untuk meningkatkan mutu pelayanan pengobatan.
- Rujukan Kesehatan
- survey epidemiologi dan pemberantasan penyakit atas kejadian luar biasa atau berjangkitnya penyakit menular;
- pemberian pangan atas terjadinya kelaparan di suatu wilayah;
- penyelidikan penyebab keracunan, bantuan teknologi penanggulangan keracunan, dan bantuan obat-obatan atas terjadinya keracunan massal;
- pemberian makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan untuk pengungsi atas terjadinya bencana alam;
- sarana dan teknologi untuk penyediaan air bersih atas masalah kekurangan air bersih masyarakat umum;
- pemeriksaan specimen air di laboratorium kesehatan dan lain-lain.
3) Tujuan system rujukan upaya kesehatan
- Tujuan umum
Dihasilkannya
pemerataan upaya pelayanan kesehatan yang didukung kualitas pelayanan yang
optimal dalam rangka memecahkan masalah kesehatan secara berdaya guna dan
berhasil guna.
- Tujuan khusus
- Dihasilkannya upaya pelayanan kesehatan
klinik yang bersifat kuratif dan rehabilitative secara berhasil gua dan berdaya
guna.
- Dihasilkannya upaya kesehatan masyarakat
yang bersifat preventif dan promotif secara berhasil guna dan berdaya guna.
4) Alur rujukan
Rujukan Medis- Internal antara petugas puskesmas
- Antara puskesmas pembantu dengan puskesmas
- Antara masyarakat dengan puskesmas
- Antara puskesmas yang satu dengan puskesmas yang lain.
- Antara puskesmas dengan rumah sakit, laboratorium, atau fasilitas kesehatan yang lainnya.
Tren Demografi dan dampak terhadap Komunikasi Kesehatan
Demografi
1. Ruang Lingkup
Demografi mencakup batasan-batasan umum kematian, kelahiran, migrasi dan perkawinan dengan proses penduduk dan hukum pertumbuhan penduduk. Sedangkan menurut Adolphe Laundry (1937) demografi formal bersifat analisis matematis dan teknik-teknik sociological. Demography atau population studies adalah penghubung antara penduduk dan system social.Tujuan dan kegunaan demografi adalah sebagai berikut :
- Mempelajari kuantitas dan distribusi penduduk dalam suatu daerah tertentu.
- Menjelaskan pertumbuhan, masa lampau, penurunan, dan persebarannya.
- Menggambarkan hubungan sebab-akibat antara perkembangan penduduk dengan bermacam-macam aspek organisasi social.
- Mencoba meramalkan pertumbuhan penduduk di masa yang akan datang dan kemungkinan-kemungkinan konsekuensinya.
2. Kebijaksanaan Kependudukan
Kebijaksanaan kependudukan berhubungan dengan dinamika kependudukan yaitu perubahan-perubahan terhadap tingkat fertilitas, mortalitas, dan migrasi. Kebijaksanaan kependudukan dapat memengaruhi fertilitas. Fertilitas sering hanya dihubungkan dengan penurunan fertilitas melalui keluarga berencana. Kebijaksanaan mengenai mortalitas biasanya langsung dihubungkan dengan kesehatan, bahkan sering dihubungkan dengan klinik, rumah sakit, dan dokter. Mortalitas mempunyai hubungan yang erat dengan morbiditas.3. Transisi Demografi
Laju pertumbuhan penduduk Indonesia rata-rata pertahun selama periode 2000-2025 menunjukan kecenderungan terus menurun. Pada periode 2000-2025, penduduk Indonesia bertambah dengan kecepatan 1,36 persen per tahun. Pada periode 2020-2025 turun menjadi 0,98 persen per tahun . Turunya laju pertumbuhan penduduk ini diakibatkan oleh turunnya angka kelahiran dan kematian. Namun penurunan angka kalahiran lebih cepat daripada penurunan angka kematian. Crude Birth Rate (CBR) turun dari 21 per 1000 penduduk pada awal proyeksi menjadi 15 per 1000 penduduk pada akhir periode proyeksi, sedangkan Crude Date Rate (CDR) tetap sekitar 7 per 1000 penduduk pada kurun waktu yang sama. Persebaran penduduk Indonesia antar pulau dan antar provinsi tidak merata.Persentase penduduk Indonesia yang tinggal di Pulau Jawa terus menurun yaitu dari sekitar 58,9 persen pada tahun 2000 menjadi 55,4 persen pada tahun 2025. Sebaliknya persentase penduduk yang tinggal di pulau lain meningkat. Sebagai contoh, pulau Sumatera mengalami kenaikan dari 21 persen menjadi 23,1 persen selama periode proyeksi. Persentase penduduk umur belum produktif (0-14 tahun) secara nasionalØ menunjukan kecenderungan semakin menurun yaitu dari 30,7 persen pada tahun 2000 menjadi 22,8 persen pada tahun 2025. Sementara itu persentase penduduk usia produktif (15-64 tahun) meningkat dari 64,6 persen pada tahun 2000 menjadi 68,7 persen pada tahun 2025, dan mereka yang berusia 65 tahun ke atas (sudah tidak produktif) naik dari 4,7 persen menjadi 8,5 persen.
Perubahan struktur umur ini mengakibatkan beban ketergantungan atau Dependency Ratio turun dari 54,7 persen pada tahun 2000 menjadi 45,6 persen pada tahun 2025. Terkait dengan perubahan Dependency Ratio, maka Indonesia akan mendapatkan demographic bonus (kondisi dimana dependency ratio berada pada tingkat yang terendah) selama 10 tahun yaitu antara tahun 2015 sampai 2025, dengan syarat TFR 2.1 atau NRR=1 dapat dicapai pada tahun 2015. Pada kurun waktu tersebut dependency ratio berada pada tingkat 0,4 sampai 0,5 atau disebut dengan “Window Opportunity”. Dengan asumsi penurunan fertilitas dan mortalitas serta perubahan struktur umurØ seperti diuraikan di atas, Indonesia akan mencapai “Replacement Level”. (NRR=1) atau setara dengan TFR 2,1 pada tahun 2015. Beberapa provinsi yaitu DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali dan Sulawesi Utara sudah mencapai tingkat NRR=1, jauh sebelum tahun 2015 yaitu pada periode tahun 1996-1999. Pada akhir periode proyeksi hampir semua provinsi telah mencapai “Replacement Level”. Angka harapan hidup, diperkirakan meningkat dari 67,8 tahun pada periode 2000-Ø 2005 menjadi 73,6 tahun pada periode akhir proyeksi (2020-2025). Pada awal proyeksi, angka harapan hidup terndah terdapat di NTB (60,9 tahun) dan tertinggi di DI Yogyakarta (73,0 tahun). Pada akhir periode proyeksi, angka harapan hidup berkisar antara 70,8 hingga 75,8 tahun untuk provinsi yang sama seperti pada awal proyeksi.
Tingkat urbanisasi Indonesia diproyeksikan mencapai 68 persen pada tahun 2025. Untuk beberapa provinsi seperti Jawa dan Bali, tingkat urbanisasinya sudah lebih tinggi dari tingkat nasional. Tingkat urbanisasi di 4 provinsi di Jawa, pada tahun 2025 sudah di atas 80 persen. Provinsi tersebut adalah DKI Jakarta, Jawa Barat, DI Yogyakarta dan Banten. Dengan hasil proyeksi tersebut berarti penduduk Indonesia dalam beberapa tahun mendatang akan terus meningkat jumlahnya, walaupun program KB telah berhasil menurunkan tingkat kelahiran. Hal ini dimungkinkan karena masih banyak jumlah perempuan dalam usia reproduksi sebagai akibat dari tingginya kelahiran di masa lalu. Penduduk tidak lagi mengalami pertambahan (Zero Population Growth=ZPG) setelah dalam jangka waktu yang panjang (minimal satu generasi) telah mencapai tumbuh seimbang yang diperkirakan akan dicapai pada tahun 2050 dengan jumlah penduduk 293 juta jiwa.
Dampak terhadap Komunikasi Kesehatan
Sebagian besar komunikasi bertujuan untuk memengaruhi audiens dengan menampilkan komunikator, rancangan pesan, media yang dapat mempersuasi komunikan. Metode persuasi dapat dilakukan dalam banyak cara, misalnya kampanye, promosi, negosiasi, propaganda, periklanan, penyuluhan dan lain-lain.Komunikasi kesehatan yang efektif sangat tergantung dari karakteristik komunikator yang memanipulasi pesan dan memanfaatkan media untuk mengalihkan pesan tersebut.
Banyak sekali teori, model dan perspektif mengenai komunikasi kesehatan. Namun, semua model teoretik maupun praksis itu meliputi :
- Komunikasi Persuasif atau komunikasi yang berdampak pada perubahan perilaku kesehatan.
- Factor-faktor psikologis individual yang memengaruhi persepsi terhadap kesehatan :
- Stimulus (objek persepsi) > sense organ dan pemaknaan stimulus (respons);
- Bagaimana mengorganisir stimulus > berdasarkan aturan, schemata dan label;
- Interpretasi dan evaluasi berdasarkan pengetahuan, pengalaman, dll;
- Memori; dan
- Recall.
Kini dengan kemajuan teknologi komunikasi maka lahir teknologi multimedia yang mengakibatkan semakin cepat menyebarnya informasi, termasuk informasi kesehatan. Sebagai contoh, kini berkembang Health e Communication dimana komunikasi tentang kesehatan dapat diakses dan disebarluaskan melalui WWW, world wide web. Health e Communication adalah suatu jaringan elektronik (internet) yang dibangun oleh Health Communication Partnership (HCP) dan The Communication Initiative. Jaringan ini berbasis untuk melayani dan mengomentari kelompok luas berjaringan world wide group pada praktisi komunikasi kesehatan yang berminat untuk memberikan masukan penting dalam tahap komunikasi kesehatan.
Teori Perubahan Sikap ; The Social Differentiation Theory
Teori individual difference berbicara tentang perbedaan individual antara manusia. Kita ingat, jika masyarakat makin heterogen, terjadilah diferensiasi. Heterogenitas itu dimungkinkan oleh adanya urbanisasi, modernisasi, pembagian kerja, mobilitas social vertical (kadang-kadang orang menyebutnya sebagai kategori social). Beberapa contoh kategori antara lain : kelompok umur, kelas social, agama, identitas etnik, desa, kota, stratifikasi social, dan lain-lain. Kadang-kadang terlihat pula, mereka yang berada pada kategori yang sama akan membentuk pula sub kultur, yaitu kebudayaan khusus yang dimiliki dan berlaku pada anggota (misalnya para dokter, kaum homoseksual, dosen, guru dan lain-lain) merupakan komunitas dengan sub kultur sendiri. Prinsip ini bisa terlihat dalam definisi komunikasi yang disajikan Laswell : Who Says What In What Channel to Whom Whith What Effects. Dari segi audiens, mereka yang berada dalam satu kategori social ang sama diasumsikan mempunyai minat yang sama terhadap isi media, dan oleh karena itu akan menggunakan media untuk keperluan yang relative sama (uses and gratifications). Penting untuk diketahui, meskipun setiap individu berbeda-beda, atau setiap kelompok mengalami diferensiasi, setiap individu maupun kelompok tetap menjalin relasi social dalam kehidupan bersama. Prinsip perkawanansahabat dekat melalui relasi social itu akan mengakibatkan bertumbuhnya minat yang sama terhadap isi media.
0 Comments